Jumat, 14 Maret 2014

Fenomena Joko Widodo



   

     Beberapa waktu lalu, saya sempat melihat pemberitaan isu yang semakin hangat bahwa Joko Widodo atau yang lebih akrab di sapa Jokowi yaitu Gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017 akan mengajukan diri sebagai calon Presiden RI di Pemilu tahun 2014. Dalam hati saya berkata, “ah, mana mungkin Jokowi berani sampai seperti itu”. Saya tidak hanya asal dalam menerka, karena beberapa waktu lalu saya sempat melihat video kampanye Jokowi-Ahok di Youtube.com sewaktu mencalonkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, dengan judul “Kami Pegang Janji Jokowi”. Salah satu momen di video tersebut terlihat Jokowi berkata “Jowoki dan Basuki (ahok) komit untuk memperbaiki DKI Jakarta lima tahun”. Terlihat janji-janji manis yang diucapkan oleh pemimpin blusukan ini, yang mana berjanji akan memperbaiki permasalahan yang ada di DKI Jakarta.

     Janji tinggalah janji, ternyata pemimpin perubahan ini tidak berbeda halnya dengan para pria Playboy yang suka mengumbar janji manis kepada lawan jenisnya, agar tertarik menjadi wanitanya atau pasangannya. Pada hari Jum’at, tanggal 14 Maret 2014 di Rumah Si Pitung, Rusun Marunda Jakarta, Jokowi mendeklarasikan pen-capres-annya yang diusung partai Banteng Merah yaitu PDIP. Diumur yang belum genap 2 tahun dalam memimpin DKI Jakarta, Jokowi mengingkari janji yang pernah dikatakannya di depan masyarakat banyak.

     “Aneh” mungkin satu kata yang terlintas di benak saya kali ini. Mungkin benar, di Politik 1 + 1 tidak selalu 2 hasilnya, bisa 3, 4,5,6,7,8,...... tidak terhingga, begitu lah kata orang-orang politik. Saya tidak bermaksud untuk menjelekkan Jokowi atau sebagainya. Saya kagum dengan beliau, saya bangga melihat sosok beliau dan saya sangat menghormati keputusan beliau. Hanya saja, saya “sedikit” kecewa dengan keputusan beliau, yang terkesan tidak amanah, dan bahkan terkesan mundur dari tanggung jawabnya. 

     Banyak pro dan kontra yang terjadi ketika pencapresan Jokowi, seperti curiga-nya beberapa kalangan masyarakat dan beberapa tokoh politik. Ketika Jokowi mendeklarasikan pencapresannya, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Indonesia mengalami peningkatan drastis yang sebelumnya -1 poin (minus) menjadi 3 poin (plus). Harga rupiah yang terapresiasi dari 11.400-an menjadi 11.200-an. Sejarah Indonesia mencatat baru pertama kalinya pendeklarasian capres dapat mempengaruhi IHSG dan kurs. Seperti ada intervensi yang besar dari pihak asing yang mem-backing pemimpin rakyat Jakarta ini. Semoga saja itu hanya fenomena yang kebetulan saja terjadi, karena bagaimanapun setiap publik figur akan selalu menghasilkan pro dan kontra dalam hal apapun yang dilakukan tidak terkecuali Jokowi.

     Mungkin Jokowi tidak buta ketika melakukan blusukan ke kampung-kampung kumuh di jakarta, melihat masyarakat miskin di bantaran kali maupun di kolong jembatan yang tersenyum bahagia ketika melihat Gubernur Idamannya datang dan berbincang-bincang dan sesekali menyalaminya. Mungkin Jokowi tidak tuli ketika mendengar aspirasi masyarakat Ibu Kota yang haus akan perubahan. Sepertinya, Jokowi hanya lupa untuk mengingat apa saja yang telah beliau janjikan kepada masyarakat DKI Jakarta.

     Saya yang hanya seorang Mahasiswa, mungkin tidak sehebat bapak, tidak sepintar bapak, saya hanya bisa mengkritiki bapak dan mungkin tanpa solusi yang berarti. Akan tetapi di dalam hati saya yang paling dalam, saya menaruh harapan kepada bapak Jokowi akan perubahan yang akan bapak berikan untuk DKI Jakarta. Sekarang harapan saya sudah hilang, bapak lebih memilih mengikuti mandat partai bapak dari pada memilih suara masyarakat DKI Jakarta. Sekarang silahkan bapak siapkan apa saja “janji” yang akan bapak berikan untuk Ibu Pertiwi ini, untuk Pemilu 2014. Yang bisa saya lakukan saat ini hanya berdo’a yang terbaik untuk bapak, DKI Jakarta dan tentunya Indonesia. Salam Hormat.

Dituliskan oleh Luqman Azis - 

Selasa, 04 Maret 2014

Otonomi Pancasila Kabupaten Bogor



Sebelum terjadinya reformasi, tepatnya pada era orde baru sistem pemerintahan di Indonesia bersifat sentralisitik (sentralisasi). Dalam  sistem pemerintahan yang bersifat sentralisasi pengaturan pemerintahan berada di pemerintah pusat, sedangkan pemerintah daerah hanya bertindak sebagai eksekutor dalam perencanaan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Dampak dalam sistem pemerintahan ini, berujung pada ketidakmerataan pembangunan yang terjadi di pusat dan di daerah. Hal ini lah penyebab terjadinya dorongan yang sangat kuat dari berbagai pihak agar dibentuknya peraturan tentang otonomi daerah.

Otonomi daerah menjadi sebuah tuntutan dalam perjalanan reformasi di Indonesia. Kurang lebih satu tahun setelah terjadinya reformasi tepatnya pada tahun 1999, para anggota dewan di senayan mengetuk palu atas pengajuan draf  Undang-undang No. 22 tahun 1999 (tentang pemerintah daerah) dan Undang-undang No. 25 tahun 1999 (tentang perimbangan keuangan). Selanjutnya, berdasarkan pertimbangan yang mengacu pada Pancasila (sebagai dasar negara) maka UU No. 22 tahun 1999 diganti menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah.

Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia mengambarkan kondisi dan visi negara. Dimana, keberagaman yang dimiliki menjadi modal penting untuk mencapai kesejahteraan bersama tanpa terkecuali masyarakat yang miskin. Hal ini lah yang menjadi track dalam perjalanan otonomi daerah di negeri ini. Akan tetapi sangat disayangkan jika dalam perjalanan otnomi daerah, pengembangan potensi-potensi daerah hanya dapat dinikmati oleh beberapa golongan saja.

Kabupaten Bogor merupakan daerah yang memiliki tanah yang subur, tidak heran jika daerah ini mengandalkan sektor pertanian sebagai salah satu penopang perekonomian bagi masyarakatnya. Pada tahun 2013 terdapat 50.756  rumah tangga petani yang menggantungkan hidup di sektor pertanian. Jumlah ini sangat kecil jika dibandingkan tahun 2006 (sebelum undang-undang otonomi daerah diberlakukan) yaitu sebesar 255.224 RTP (BPS Kab. Bogor).

Jumlah RTP di Kabupaten Bogor yang berkurang disebabkan banyaknya petani yang beralih ke sektor lain. Kebanyakan lahan yang dikelola petani tersebut beralih fungsi dari lahan pertanian menjadi lahan industri dan jasa yang dibangun untuk kpentingan pemodal-pemodal besar. Berdasarkan data statistik luas lahan pertanian di daerah ini pada tahun 2010 sebesar 48. 484 hektare. Akan tetapi luas tersebut lebih kecil dibandingkan luas lahan pertanian Kabupaten Bogor pada tahun 2006 yaitu sebesar 65.000 hektar (BPS Kab. Bogor). Keseriusan pemerintah daerah menjadi ‘kunci’ pembangunan pertanian di daerah ini.

Alokasi pembangunan untuk sektor pertanian di Kabupaten Bogor sangatlah kecil. Dalam Rancangan Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Kabupaten Bogor, dana yang dialokasikan untuk pertanian dan kehutanan hanya sebesar Rp. 45.702.645.000. Jumlah ini sangat kecil jika dibandingkan dengan total RKPD 2013 yang mencapai Rp. 2.531.237.850.119 atau hanya kekitar 1,8 persen. Menjadi hal wajar ketika para petani-petani kecil yang mempunyai modal kecil relatif sulit untuk mencapai ‘kata sejahtera’.

Menurut Sahara (Dosen Ilmu Ekonomi Institut Pertanian Bogor) dalam acara Hipotex-R 2013 menyatakan bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang penting dalam pembangunan perekonomian Indonesia. Karena pada sektor pertanian dapat menimbulkan multiplier effects (pemacu timbulnya kegiatan perekonomian lain) yang lebih besar dibandingkan sektor lainnya termasuk industri manufaktur. Multiplier effects pada sektor pertanian akan memacu tumbuknya kegiatan ekonomi di sektor lain. Seluruh masyarakat akan merasakan efek dari kegiatan perekonomian dibidang pertanian, baik itu masyarakat yang bermodal kecil maupun masyarakat bermodal besal. Beberapa sektor yang timbul dari kegiatan perekonomian ini, diantaranya industri pengolahan bahan pertanian, industri pengangkutan, UKM, pariwisata, dll.

Begitu banyak keuntungan yang akan didapatkan Kabupaten Bogor jika pemerintah daerah (pemda)berfokus untuk mengembangkan sektor pertanian.  Sangat disayangkan jika pemda  tetap enggan membangun pertanian sebagai ‘motor’ utama dalam perekonomianan wilayahnya. Pemda Kabupaten Bogor hanya  berfokus pada pembangunan infrastruktur jalan raya yang sebagian besar digunakan oleh mobil-mobil masyarakat yang kaya truk-truk industri manufaktur. Sedangkan hampir tidak terlihat pembangunan infrastruktur pertanian misalnya irigasi dan aduk untuk lahan pertanian. Hanya kelompok-kelompok pemodal besar dan orang kaya lah yang dapat menikmati keuntungan dari pembangunan ini. Sedangkan kelompok masyarakat kecil akan terus berputar otak untuk mencapai kesejahteraannya.

Pada akhirnya, otonomi yang dibentuk oleh wakil rakyat Indonesia semakin jauh dari koridor Pancasila.



Ditulis Oleh: Pangrio Nurjaya


Sumber-Sumber Terkait :

·         RKPD-Kabupaten Bogor 2013
·         http://m.poskotanews.com
·         http://bandungnewsphoto.com
·         http://psp3.ipb.ac.id