Sabtu, 06 September 2014

Demand create its own supply or supply create its own demand?

Jean baptist say, seorang ekonom tersohor tahun 1700-1800an,  bilang kalau supply create its own demand dan pernyataan itu dibantah beratus-ratus tahun kemudian oleh seorang bernama keynes dan beranggapan bahwa demand create its own supply. Teori supply demand ini memang tidak akan ada habisnya selama titik ekuilibrium orang orang berbeda beda adanya dan ditulisan ini saya tak akan menjabarkan turunan turunan rumus ekonomi ataupun kisah adu logika antara say dan keynes melainkan coba membedah kedua asumsi ekonom tersebut di keseharian yang nantinya bisa menghasilkan kesimpulan logis.

Saya pribadi masih bingung dan sepertinya akan terus bingung siapa yang mengcreate siapa, ini tak ada bedanya dengan teori fisher antara inflasi dan sukubunga atau yang lebih mudahnya hubungan kausalitas keduanya tak akan mudah tertebak layaknya hubungan ayam dan telur. Tapi preferensi saya, sebenarnya kepada apa yang say katakan 'Supply create its own demand'. Kenapa? Kenapa ya, prosesnya cukup panjang dan juga cukup aneh mengingat saya adalah salah satu orang yang menyukai aliran keynessian.  Tapi akan saya coba menjelaskan memakai teori empiris logis bukan dengan derivatif langrangean dkk.

Dulu saya adalah orang yang percaya kalau "Demand create its own supply". Bertahun-tahun sebagai anak ekonomi saya sangat percaya dengan teori itu karena meliat geliat pasar yang terjadi di dunia. Orang selalu "butuh" sesuatu yang baru dan pasar selalu "menyediakan" apa yang mereka butuh. Sadarkah kalian kalau manusia butuh eksistensi? Saya sadar dan pasar juga sadar sepertinya, lalu mereka buat sosial media macam path, facebook, instagram dan lain lain. Atau selera musik misalnya, ketika booming boyband dan girlband tiba tiba pasar menyediakan dengan jumlah yang sangat banyak. Dan pengamal teori ini yang paling keren buat saya adalah si pembuat tongsis: Kurang jenius apa? Si pembuat tongsis melakukan terobosan yang paling mutakhir di abad ke 21 dengan membuat "supply" terhadap "demand" orang orang yang hasrat foto fotonya tinggi tapi malu untuk minta foto. Dia memang pengamal teori keynes dengan taat.

Tapi pelan pelan doktrin itu pudar di otak saya. Kenapa?

Pertama dan yang paling penting adalah karena saya yakin selera orang bisa dibentuk. Selera itu bisa kok dikotak-kotakan dan bisa dirubah rubah sesuai kemauan orang yang mengerti tentang pola merubah selera. Media, adalah senjatanya dan advertising adalah pelurunya. Semakin menarik media semakin menarik pesan pesan baik tersirat, tersurat ataupun subliminal sekalipun akan merubah pola pikir manusia tersebut. Saya yakin betul dengan hal itu, karena  saya pernah mengalami sendiri. Ambil contoh dalam kasus rokok: Ketika saya menonton film hollywood yang dimana para aktor merokok dengan sangat nikmat, demand saya terhadap rokok pun naik. Ketika saya menonton premium rush misalnya, demand saya untuk mempunya fixie pun naik drastis untungnya saya tak punya uang untuk membeli fixie hehe. Wanita pun begitu, ketika menonton film film korea yang katanya romantis, demand untuk diromantisin pun naik dan pacarnya jadi korban.

Kedua dan terakhir, apa yang selalu kita lihat setiap hari akan menjadi permintaan dan kebutuhan buat kita. Contoh nyata, waktu SMP saya pernah diajarkan tentang burung finch di galapagos dimana darwin menjadikannya sebagai penguat teori evolusi. Burung finch lambat laun menunjukan proses evolusi di bentuk paruhnya yang semakin lama mengecil, karena harus terbiasa untuk memakan kacang-kacangan di kepulauan itu. Dan pernahkah kita mendengar kalau pelaku pemerkosaan seringkali punya alasan yang sama ketika melakukan perkosaan: "Terlalu banyak menonton video porno atau tidak kuat godaan melihat aurat yang seringkali terumbar (sengaja/tidak)". 

Mungkin alasan saya tak cukup ilmiah tapi kiranya cukup logis untuk dipikirkan. Atas kedua alasan ini kita harus berhati-hati dengan apa yang kita lihat setiap harinya karena sadar atau tidak selera selalu terbentuk dan dinamis. Jangan sampai kita menjadi orang yang mempunyai doktrin "You only see what you want to see" karena "want" itu bisa dibentuk dengan mudah secara sadar atau tidak sadar.



Ditulis oleh: Muhamad Rifki Maulana

Minggu, 31 Agustus 2014

Pemimpin dan Filosofi si Lima jari

Atmosfer yang masih sama setelah hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 69, dimana keceriaan dan kegembiraan kompak dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia dari tanah Aceh sampai Papua. Hari kemerdekaan merupakan hari yang amat bersejarah bagi bangsa indonesia dimana bangsa ini akhirnya bisa bebas merdeka dari penjajahan.
Merupakan kado yang teristimewa pada HUT Republik Indonesia yang ke 69 ini yaitu karena telah lahirnya sosok pemimpin baru yang akan membawa bangsa ini ke era perubahan yang lebih maju lagi. Ngomong-ngomong bicara tentang sosok pemimpin baru, memori saya teringat mengenai pemimpin dan filosofi lima jari.
Suatu malam saya teringat oleh cerita bapak saya, mengenai filosofi pemimpin sudah ada di dalam tubuh setiap  manusia yang tergambar dalam lima jari yang dimiliki manusia, yaitu Ibu jari menggambarkan bahwa pemimpin harus melayani seperti ibu, Jari Telunjuk pemimpin harus mengarahkan yang dipimpinya, Jari tengah menandakan bahwa pemimpin harus berada di tengah yang berarti tidak memihak dalam mengambil keputusan, Jari manis yang selalu dihiasi dengan perhiasan  menandakan bahwa pemimpin harus apik dalam berpenampilan, serta  Jari kelingking yang biasa digunakan untuk membersihkan bagian tubuh tertentu menandakan  bahwa pemimpin harus bersih dari tindakan yang melanggar hukum dan tata aturan yang berlaku.
Miris rasanya mendengar berita mengenai masalah korupsi di Indonesia yang telah menjadi first of crime di negeri ini  penyakit itu telah menjamur seperti penyakit kanker yang menjamur sangat cepat pertumbuhan selnya, dan harus cepat dan sedini mungkin dibrantas sampai ke akar. Sehingga, diperlukan andilnya Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengorek serta menangani setiap kasus korupsi di negeri ini. KPK yang merupakan badan independent bukan dibawah presiden kedudukannya, dan tidak di interfensi oleh siapapun menarik simpati masyarakat terhadap kinerja KPK.
Sedikit menilik sejarah dimana akar korupsi memang sudah ada di Indonesia ketika  zaman penjajahan oleh Belanda, dimana runtuhnya VOC salah satu penyebabnya adalah terlalu banyaknya pejabat VOC yang korupsi. Jangan sampai korupsi memecah bangsa Indonesia!
Ironisnya mereka yang korupsi tidak lain adalah seorang civitas akademisi yang dulunya ketika mahasiswa juga menyuarakan antikorupsi. Namun, karena adanya godaan dan angin kencang ketika menduduki jabatan strategis yang rentan akan korupsi mereka tidak dapat menahan godaan untuk tidak korupsi.
Adanya pendidikan antikorupsi yang diberikan secara khusus di setiap perguruan tinggi merupakan satu langkah yang baik untuk menyiapkan bibit-bibit karakter yang antikorupsi. Anis Baswedan pernah berpendapat jika sistem pendidikan belum di benahi maka masalah korupsi tidak akan ada habisnya. Hal ini berarti dibutuhkannya pendidikan yang mampu menumbuhkan karakter siswa untuk dapat berkontribusi secara aktif dan cerdas untuk mencegah tindak korupsi untuk kedepannya.
Berani jujur itu hebat. Budaya untuk selalu bersikap jujur memang awalnya sulit, tetapi dari suatu kebiasaan yang baik itulah dapat membangun karakter yang baik pula. Untuk memberantas korupsi bukan hanya tugas KPK saja tetapi seluruh masyarakat Indonesia. Tentunya pemberantasan korupsi juga bergantung pada siapa yang menjadi pemimpin yang sedang berkuasa di negeri ini, yang mampu dan berani membersihkan korupsi sampai ke akar. Jadi akhir kata,  semua tergantung pada willingnes pemimpin baru yang selanjutnya akan memimpin negeri ini. 

Dituliskan oleh : Alfianisa Tongato (Anggota Muda HMI Komisariat FEM Cabang Bogor)

Pembangunan Pertanian Langkah Awal Presiden Baru Menapaki Tantangan Global

Pertanian merupakan jantung pertahanan bagi ketahanan pangan Indonesia. Agenda meningkatkan sector pertanian harus menjadi agenda utama pemerintahan yang baru yang sebentar lagi akan menjadi tugas dari presiden yang telah terpilih dalam pilpres 9 Juli lalu. Berbagai win solution pun dibutuhkan untuk menjawab tantangan sector pertanian yang perlu semakin dibenahi oleh pemerintahan yang baru.
“Maju mundurnya suatu Negara bergantung pada sector pertaniannya”, begitulah ungkapan Bung Karno.. Tanpa pertanian yang maju, ketahanan pangan tidak akan sukses, dan tanpa ketahanan pangan yang baik, bangsa ini akan mengalami suatu masalah yang sangat serius yaitu kelaparan dan kemiskinan. Dengan meningkatkan kesejahteraan petani tentunya akan sangat menentukan prospek ketahanan pangan di Indonesia untuk ke depannya.
Perjalanan pembangunan pertanian Indonesia hingga saat ini masih belum dapat menunjukkan hasil yang maksimal jika dilihat dari tingkat kesejahteraan petani dan kontribusinya pada pendapatan nasional.Badan Pusat Statistik (BPS) dalam pengumuman statistik perekonomian 2013 di Jakarta, Rabu (3/2), mencatat kontribusi sektor pertanian terhadap produk domestik bruto (PDB) hanya sekitar 14%. Padahal potensi pembangunan pertanian yang dimiliki Indonesia sangat besar dalam artian dapat memberi share lebih dari 14,% apabila ada pembangunan yang betul-betul concern.
Dan yang menjadi duduk permasalahannya, yaitu karena kekurangan dalam tatanan  distribusi, akses, dan konsumsi dari bahan pangan tersebut. Pada kenyataannya hal ini sangat sulit untuk diatasi, sehingga menyebabkan kenaikan harga pangan di pasar yang mungkin juga  dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal.
Pertumbuhan penduduk Indonesia yang semakin pesat juga dapat mempengaruhi ketahanan pangan suatu negara. Penduduk Indonesia pada tahun 2035 diperkirakan akan bertambah menjadi 2 kali lipat. Akibatnya, dalam waktu 35 tahun yang akan datang Indonesia memerlukan tambahan ketersediaan pangan yang lebih dari 2 kali jumlah kebutuhan saat ini.
Pembangunan pertanian di masa yang akan datang tidak hanya dihadapkan untuk memecahkan masalah-masalah yang ada, namun juga dihadapkan pula pada tantangan untuk menghadapi perubahan tatanan politik di Indonesia yang mengarah pada era demokratisasi yakni tuntutan otonomi daerah dan pemberdayaan petani. Oleh karena itu, pembangunan pertanian di Indonesia tidak saja dituntut untuk menghasilkan produk-produk pertanian yang berdaya saing tinggi namun juga mampu mengembangkan pertumbuhan daerah serta pemberdayaan masyarakat.
Maka dari itu, penulis dapat simpulkan bahwa Indonesia membutuhkan sosok pemimpin yang kuat dalam mewujudkan pembangunan pertanian sebagai tonggak pembangunan ekonomi nasional. Karena, bukannya hanya kabar burung belaka bahwa Indonesia adalah Negara agraria. Diharapkan, presiden terpilih yang akan mengemban amanah rakyat dapat mengerti dan paham betul serta mempunyai konsep strategis dalam mewujudkan ketahanaan pangan nasional serta dapat mewujudkan masyarakat Indonesia yang makmur dan sejahtera di era global ini.  Hidup Pertanian Indonesia!


Dituliskan oleh : Alfianisa Tongato (Anggota Muda HMI Komisariat FEM Cabang Bogor)

Sabtu, 16 Agustus 2014

Rasa Cintaku Padamu, Ibu Pertiwi.....

Tempat dimana, aku dilahirkan dan tempat dimana nanti, duduk disini,
menutup mata dan mati – Ungu (Indonesiaku)

Aku dilahirkan di Indonesia, negara yang memiliki 33 provinsi dan 511 kabupaten dan kota. Indonesia terdiri dari gugusan pulau-pulau dari sabang sampai merauke, dari sumatera hingga papua. Memiliki sumber daya alam yang melimpah dan tidak akan ada habisnya. Terdiri dari beragam suku, budaya, agama dan bahasa. Semua bersatu menjadi “Bhineka Tunggal Ika”. Aku bangga dapat dilahirkan di negara ini, aku bersyukur dapat menjadi warga negara Indonesia.
Pada hari ini, tepat tanggal 17 Agustus 2014 dimana Ibu Pertiwi sedang berulang tahun ke-69. Angka yang tidak kecil, umur yang tua namun tetap teguh dan tegap dalam berdiri tanpa kenal lelah meskipun bencana, konflik dan politik yang menyerangnya, namun dia tetap kokoh sampai detik ini.
Indonesia kini tentu berbeda dengan Indonesia sebelum tahun 1945. Terima kasih ku ucapkan kepada para Pahlawan Indonesia yang telah rela berkorban untuk mendapatkan kemerdekaan Indonesia dari para penjajah. Tidak sedikit darah yang tumpah untuk sekedar membacakan, mendengarkan “teks proklamasi” yang dibacakan oleh Soekarno di Jl. Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat. Perjalanan yang sangat panjang yang harus dilalui oleh Ibu Pertiwi untuk mendapatkan kemerdekaannya.

Sudahkah kita merasa bangga dengan bangsa ini ?

Aku, menjadi satu dari sekian ratus juta orang warga negara Indonesia yang merasakan kebanggaan yang sangat besar terhadap negara ini. Aku bangga dengan segala keragamannya, kita dapat bersatu menjadi kesatuan Republik Indonesia. Tidak ada negara yang memiliki keberagaman seperti Indonesia. Tidak ada kedamaian dari banyaknya golongan seperti Indonesia. Tidak banyak negara yang memiliki keindahan alam seperti Indonesia. Aku cinta Indonesia.
Terlepas dari banyaknya kekurangan yang Indonesia miliki, tidak pernah sedikitpun didalam benakku untuk meninggalkan, menghancurkan dan bahkan menjajah bangsaku sendiri. Sampai mati pun aku akan tetap seperti ini, mencintai Indonesia dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Indonesia, Ibu Pertiwi, Semoga diumur yang semakin tua ini, Engkau selalu dilindungi oleh Allah SWT. Sedikit banyak, izinkan diri ini untuk berbakti padamu negeri. Aamiin.

SEKALI MERDEKA TETAP MERDEKA !!
INDONESIA !!



Oleh : Luqman Azis (Wakil Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan)

Memaknai Arti Kemerdekaan Indonesia Bagi Para Pemuda

          Seorang guru sekolah dasar berkata kepada murid-muridnya di kelas, “ Dahulu para pahlawan bangsa mengangkat senjata rampasan, pedang, bahkan bambu runcing untuk melawan penjajah demi merebut kemerdekaan”. “Tetapi hari ini, kalian hanya perlu menggunakan otak dan pena kalian untuk melanjutkan perjuangan mereka” lanjutnya. Perkataan guru sekolah dasar ini mungkin hanyalah kalimat sederhana yang sering kita dengar selepas pelajaran sejarah di seekolah dasar. Namun, ketika kita memaknai lebih lanjut perkataan ini merupakan pesan yang disampaikan oleh para pejuang dan pendiri Bangsa Indonesia.
          Sangat berat perjuangan para pahlawan dalam merebut kemerdekaan bangsa ini. Semua kemewahan dunia rela mereka korbankan demi kehormatan dan kedaulatan bangsa yang mereka cintai. Dengan bermodalkan semangat dan keyakinan mereka berjuang untuk keberlangsungan hidup anak-cucu mereka. Tak ada yang mereka takuti, bahkan mereka menganggap kematian sebagai kesucian dari hidup mereka. Satu hal yang menjadi keyakinan meka adalah bangsa ini akan menjadi besar ditangan generasi mendatang.
       Ketika dahulu para pejuang bangsa mengorbankan tumpah darah untuk mengantarkan bangsa ini kedepan pintu gerbang kemerdekaan (Alenia Ke-2 UUD ’45). Maka, logika sederhana terbagun bagi para pemuda adalah generasi ini harus berjuang lebih keras untuk mendapatkan kemerdekaan yang hakiki bagi bangsa Indonesia. Para pejuang dan pendiri bangsa meyakini bahwa generasi setelah mereka akan menghadapi perjuangan yang lebih berat dibandingkan mereka.  Pada era global ini, bukan hanya satu atau dua negara yang akan generasi muda hadapi, melainkan semua negara yang ada di dunia ini.
        Pada era global  sekarang ini, menuntut berbagai perkembangann dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi. Negara yang fokus dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) adalah negara yang maju. Hal ini lah yang menjadi tuntutan bagi pemuda Indonesia ketika mereka menginginkan bangsanya sebagai bangsa yang di hormati oleh bangsa lainnya.
     Penguasaan iptek juga bukan hal yang mudah di tengah arus globalisasi. Di tengah tuntuutan pengembangan IPTEK, justru para generasi muda kita juga diserang teknologi dan ilmu pengetahuan dari luar negeri. Mereka terus dimanjakan oleh berbagi teknologi negri dan terdoktrin oleh berbagai ilmu pengetahuan dari luar negeri. Sangat malu rasanya ketika para pemuda bangga menggunakan gadget terbaru dari negara lain. Sangat sedih pula ketika melihat para petani kita masih menggunakan ani-ani untuk memotong padi dan menggunakan pengairan tadah hujan untuk pengairan lahan pertanian di perbukitan. Satu hal yang hal yang menjadi pertanyaan dimana IPTEK anak negeri yang dapat digunakan bagi peningkatan kesejahteraan bangsa Indonesia.
         Apakah generasi penerus bangsa ini telah dikaburkan oleh makna kemerdekaan yang telah di capai pahlawan kita pada tanggal 17 Agustus 1945 ? Atau generasi ini tidak mau bersama-sama berjuang untuk bangsa ? Ini lah yang harusnya menjadi refleksi kita bersama dalam memaknai arti kemerdekaan Indonesia.

Oleh : Pangrio Nurjaya (Ketua Umum Komisariat FEM)

Senin, 30 Juni 2014

Hidup Matinya Sektor Pangan Indonesia



Berbicara tentang ketahanan nasional tidak terlepas dari ketahanan pangan negara tersebut, memiliki kekuatan diplomasi, militer yang kuat belum tentu merupakan indikator negara tersebut memiliki ketahanan nasional yang kuat, kata-kata yang terucap dari sang proklamator kita yaitu, Ir. Sukarno “ HIDUP MATI SUATU BANGSA DITENTUKAN OLEH KEKUATAN PANGAN BANGSA ITU SENDIRI”. Oleh karena itu saya selaku penulis tertarik untuk menuangkan ide tentang ketahanan nasional yang didasari oleh ketahanan pangan negara tersebut.
Jargon Indonesia sebagai negara agraris selalu bergema di telinga anak-anak negeri. Oleh karena, itu tidak heran banyak anak Indonesia yang hingga kini dengan tegas mengatakan bahwa negeri zamrud khatulistiwa ini adalah negara yang makmur karena kemajuan pertaniannya. Indonesia adalah negeri agraris dengan kekayaan alam melimpah, termasuk dalam hal ini adalah tanaman pangan. Namun, masih terdapat kalangan masyarakat yang belum terpenuhi kebutuhan pangannya yaitu tiga belas persen masyarakat miskin atau sekitar 30 juta masyarakat yang tergolong rawan ketahanan pangan. Perlu diketahui bersama bahwa kondisi ketahanan pangan bersifat dinamis dan berkembang sehingga permasalahan yang dihadapi juga sangat kompleks, seperti penyediaan pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan yang terus meningkat  seiring dengan pertumbuhan penduduk, pemenuhan tuntutan kualitas dan keanekaragaman bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi, efektifitas pendistribusian bahan pangan, dan keterjangkauan pangan (food accessibility).
Sektor pertanian mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan nasional. Menurut data Badan Pusat Statistik Tahun 2010 sektor ini menyerap 40.491.257 (38,35%) tenaga kerja nasional dan sebanyak 14.081.620 (34,78%) orang merupakan Generasi Muda Pertanian atau tenaga kerja kelompok umur 15-34 tahun. Potensi tenaga kerja pada kelompok umur yang tergolong muda ini juga dikategorikan sebagai Generasi Muda Pertanian yang memiliki kedudukan strategis untuk dikembangkan kapasitasnya, sehingga dapat berfungsi sebagai pengungkit yang menentukan keberhasilan pembangunan nasional khususnya pembangunan pertanian. Sektor pertanian juga berfungsi sebagai penyangga ketahanan nasional baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun keamanan. Selanjutnya data statistik diatas menunjukkan bahwa penyerapan tenaga kerja sektor pertanian tidak sebanding dengan produk domestik bruto (PDB) yang disumbangkan sebesar 14,04 %. Kondisi ini berbeda dengan sektor lain dengan tingkat penyerapan tenaga kerja yang lebih rendah menyumbang PDB yang lebih besar. Sektor industri menyerap tenaga kerja 12,78% menyumbang PDB 25,39%, dan sektor jasa menyerap tenaga kerja 14,75% menyumbang PDB 9,24%. Kondisi demikian mencerminkan produktivitas tenaga kerja di bidang pertanian tergolong rendah. Produktivitas yang rendah ini dipengaruhi banyak faktor antara lain tingkat pendidikan, penguasaan teknologi, ketersediaan sarana dan prasarana, akses pasar dan permodalan.  Generasi Muda Pertanian sebagai aset insani perlu mendapat prioritas dalam penyusunan perencanaan program pembangunan pertanian supaya menjadi generasi penerus, penggerak dan pelopor yang inovatif, kreatif, profesional, mandiri, mampu bersaing, dan berwawasan global serta mempersiapkan kapasitas generasi muda dalam menyambut komunitas ekonomi asean 2015.
Indonesia dikaruniai begitu banyak sumberdaya alam, tanah yang subur dengan keaneragaman hayati yang tinggi. Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman, begitu lirik dalam lagu "Kolam Susu" Koes Plus, grup band asal Tuban. Tapi akhir-akhir ini kita dikejutkan dengan kasus impor beras vietnam, kasus impor apel China, dan impor garam. Aneh bin ajaib, negeri se-kaya ini, negeri sesubur ini masih melakukan impor pangan, yang notabene bisa dihasilkan sendiri didalam negeri. Pemerintah memang tidak tinggal diam, dengan membuat UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan, yang didalamnya terdapat konsep ketahanan pangan. UU no 18 tahun 2012 bab 1 pasal 1 point ke-4 definisi Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Yang perlu digarisbawahi disini adalah "KONDISI TERPENUHINYA" jika kita berpikir kritis, yang dimaksud kondisi terpenuhinya itu yang bagaimana ? dengan produksi sendiri kah atau dengan cara yang praktis yaitu impor ?
Hasil survey petani 2013 mendapatkan data bahwa selama 2003-2013 terjadi penurunan jumlah keluarga petani sebesar 5 juta jiwa. Pemerintah telah mencatat bahwa telah terjadikonversi lahan pangan sebesar 100.000 Ha tiap tahunnya, hal ini tidak seimbang dengan program pemerintah untuk pencetakan sawah setiap tahun 50.000 Ha. Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai instansi terkait, mencatat impor yang tidak sedikit jumlahnya.Secara volume (Januari-Oktober), impor pangan mencapai 15,4juta ton atau setara dengan US$ 7,73 miliar. Jenis pangannya pun sangat beragam. Mulai dari singkong, cabai, kopi, susu, bawang, tepung terigu, kedelai hingga beras (detik Finance). Tentunya menjadi semakin miris Karena pangan ini bias diproduksi di dalam negeri. UU No 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan pun tidak berkutik mengatasi laju konversi lahan pangan. Pada UU No 18 Tahun 2012 bab IV pasal 14 point 1 terdapat syarat penting bahwa Sumber penyediaan Pangan berasal dari Produksi Pangan dalam negeri dan Cadangan Pangan Nasional. Dalam hal sumber penyediaan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum mencukupi, Pangan dapat dipenuhi dengan Impor Pangan sesuai dengan kebutuhan. Lalu Bagaimana kita mewujudkan "KETAHANAN PANGAN" dengan konsep memproduksi sendiri, bila pemerintah tidak serius menangani permasalahan konversi lahan, kurangnya jumlah petani, maraknya impor pangan yang telah terjadi. Menurut UU No. 18 tahun 2012 bab 1 pasal 1 point ke-4 definisi Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi Negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan".
Solusi yang ditawarkan penulis kepada pemerintah adalah menegakkan dan menjalankan amanat UU Pokok Agraria No 5 Tahun 1960, UU No 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan, UU No 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan  Petani. Dan perlu di ingat bahwa Pemerintah memiliki Generasi Muda Pertanian sebanyak 14.081.620  (34,78%) dengan rentang 15-34  tahun (BPS 2010). Sebuah potensi yang besar dan sangat perludi perhatikan dan dikembangkan kapasitasnya. Karena merekalah adalah penerus dan pemberi makan bangsa kita nanti.

Dituliskan oleh : Tri Arifin Darsono - Ketua Bidang PTKP Komisariat FEM HMI Cabang Bogor

BUKAN HANYA TOPENG POLESAN



Dalam masa kampanye yang sekarang ini sedang berlangsung, dimana kedua kandidat calon presiden mengutarakan visi dan misi jika di masa depan ia akan menjabat sebagai pemimpin negeri ini memang rawan terjadinya politik hitam yang menjatuhkan lawan melalui cara-cara yang tidak sehat seperti memfitnah hal yang tidak benar. Yang jelas dalam agama dituliskan bahwa fitnah lebih kejam dari pembunuhan.
Adanya acara debat antara kedua calon kandidat presiden yang ditayangkan oleh beberapa stasiun televisi swasta tersebut bisa menjadi jalan tengah guna menghindari terjadinya politik hitam. Dimana dalam acara tersebut kedua calon kandidat capres saling beradu argumen masing-masing tetang pengetahuan ekonominya dan langkah-langkah solutif yang akan diambilnya jika ia akan memimpin kelak untuk Indonesia yang lebih baik lagi. Baik itu mengenai peningkatan pembangunan manusia yang berupa pembangunan pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Ataupun mengenai renegosiasi terhadap kerjasama dengan perusahaan asing dalam mengekspolitasi sumber daya alam Indonesia.
Acara seperti diatas tersebut patut diapresiasi di tengah berbagai pemberitaan di media yang cenderung menjual pencitraan salah satu kandidat saja. Kini masyarakat pun dapat melihat kualitas dari kedua calon kandidat yang akan maju sebagai presiden nantinya kelak. Adapun kritisi dalam berkampanye, yaitu

Jangan jual pencitraan!
Memang suat pencitraan itu penting bagi  masyarakat. Mayarakat akan mampu melihat sosok pemimpin yang akan dipilih nanti jika calon pemimpin tersebut mempunyai pencitraan yang baik maka masyarakat pun akan dengan sukarela memilihnya untuk maju ke kursi singgasana. Tapi bukan berarti saat berkampanye bisa menjual pencitraan dengan seenaknya, karena bagaimanapun masyarakat indonesia kini telah cerdas dalam melihat seberapa pantas calon tersebut menduduki kursi kepresidenan kelak.

Jangan jual janji!
Dalam masa kampanye ini memang sudah biasa bahwa calon pemimpin mengutarakan janji-janji. Tapi bukanlah janji yang banyak yang dibumbui oleh harapan palsu yang  dibutuhkan masyarakat kini, tapi adalah janji yang realistis mampu dan dapat terwujud. Karena bagaimanapun masyarakat akan menagih janji yang telah calon kandidat utarakan saat berkampanye.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam berkampanye diperlukan strategi jitu yang taat terhadap aturan yang berlaku sehingga jalannya kampanye akan aman dan damai serta diperlukan strategi jitu yang memang benar adanya bukan hanya sekedar polesan belaka untuk menarik simpati masyarakat. Sehingga diharapkan siapapun calon pemimpin yang nantinya akan naik menjabat menjadi Presiden Republik Indonesia kelak tidak perlu memakai topeng palsu yang dipoles saat masa kampanye, melainkan Indonesia punya pemimpin yang berkualitas, terbukti dan teruji mampu  mewujudkan masyarakat indonesia yang sejahtera, makmur, dan sentosa di masa depan.

Dituliskan oleh : Alfianisa Tongato - Anggota Komisariat FEM HMI Cabang Bogor

Jumat, 13 Juni 2014

Memilih dalam Pemilu, Hak atau Kewajiban?



            Bismillahirahmanirahim,.. Saya teringat pada suatu kesempatan latihan kader HMI, ketika itu sedang membicarakan tentang takdir. Saya berfikir bahwa ketika bebicara takdir maka yang ada di benak saya adalah sesuatu yang telah ditatapkan oleh Tuhan terkait alam semesta dan seisinya termasuk manusia, sebelum manusia lahir bahkan sebelum alam semesta yang kita ketahui ini diciptakan. Tetapi, saat itu pemateri mengatakan bahwa menurut dia, ketika manusia dan alam semesta ini akan diciptakan, Tuhan dengan sifat Yang Maha Mengetahui-Nya telah mengetahui semua yang akan terjadi pada alam semesta bahkan semua yang akan manusia lakukan oleh masing-masing individunya. Tuhan dengan sifat Yang Maha Kuasa dapat dengan mudah mengubah apa yang akan terjadi pada alam semesta ini juga apa yang akan terjadi dan apa yang akan dilakukan oleh manusia, jika Tuhan menghendaki. Artinya bahwa semua yang terjadi pada alam semesta dan apa yang diperoleh manusia merupakan hasil dari apa yang dilakukan atau usaha manusia itu sendiri serta kehendak Tuhan dan bukan semata-mata karena takdir seperti yang selama ini saya fikirkan. Oleh karena itu menurut saya keliru orang-orang yang mengatakan “ biarkan sajalah sudah takdir Tuhan” tanpa adanya usaha untuk memperoleh yang lebih baik.

Bangsa ini pun sedang berusaha untuk menjadikana dirinya lebih baik dari sekarang atau bahkan sebaliknya, untuk lima tahun kedepan bahkan lebih melalui pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Meskipun tidak hanya melalui pemilihan umum untuk menjadikan bangsa ini menjadi lebih baik tetapi umumnya pemimpin memiliki proporsi yang cukup besar dalam menentukan arah dan kemajuan suatu bangsa. Pemimpin merupakan salah satu iconbagi suatu negara dalam dunia internasional terutama di era globalisasi seperti saat ini. Oleh karena itu menjadi penting bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam memilih pemimpin yang jujur, terbuka (trasparan atau tabligh), adil, amanah, cerdas,mampu memposisikan diri dalam dunia internasional semata-mata untuk kepentingan bangsa dan seluruh rakyat Indonesia serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
            
         Waktu pemilihan umum presiden dan wakil presiden semakin dekat dan pada saat-saat kampanye seperti sekarang ini tim sukses serta para pendukungnya yang antusias, sibuk menyuarakan dukungannya terhadap capres dan cawapres yang diusungnya. Berbagai media dimanfaatkan seperti televisi, radio, pembicaraan dari mulut ke mulut, internet bahkan yang sedang ramai sekarang melalui jejaring sosial untuk menceritakan kebaikan dari pasangan calon yang didukungnya dan menjelekan pasangan yang lain. Sebagian orang merasa terganggu dengan hal tersebut, menurut saya ini merupakan hal yang wajar dan kembali lagi kepada bagaimana kita dalam menyikapi hal tersebut.
           
       Bukan hanya orang-orang yang kurang peduli terhadap momen pemilihan umum ini saja yang merasa terganggu bahkan orang yang peduli dan sangat ingin berpartisipasi dalam pemilihan umum ini juga merasa jenuh terhadap hal tersebut. Saya ingat ketika sedang berbicara dengan teman saya yang mengatakan bahwa sepertinya dia akan golput dalam pemilihan peresiden kali ini. Dia merasa jenuh setelah berusaha mencari berbagai informasitentang masing-masing calon presiden yang akan ia pilih dan merasa bahwa masing-masing calon yang ada sekarang tidak sesuai dengan kriteria yang dia harapkan misalnya seperti kriteria pemimpin yang saya sebutkan sebelumnya. Ia merasa bahwa tidak harus menurunkan standar kriteria yang diharapkan dan semakin jenuh dengan pemberitaan media mengenai masing-masing pasangan calon presiden dan wakilnya. Saya juga teringat dalam kesempatan diskusi terkait golput, teman saya mengatakan bahwa tidak etis jika seseorang yang golput kemudian protes atas kebijakan yang dilakukan pemerintah atau presidennya. Mungkin maksudnya adalah sebisa mungkin kita berusaha untuk tidak golput. Sebuah artikel yang pernah saya baca di dalamnya penulis mengatakan bahwa sekarang bukan jamannya lagi untuk berada di posisi netral, kita harus menetukan sikap dan berpihak kepada salah satu pasangan calon yang menurut kita lebih baik.

            Seketika muncul pertanyaan dalam diri saya bahwa sebenarnya ikut memilih dalam pemilihan umum peresiden dan wakil presiden merupakan hak atau kah kewajiban bagi setiap warga negara yang telah memenuhi persyaratan sebagai pemilih?. Jika hal tersebut merupakan hak maka setiap warga negara bisa untuk tidak mengunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum tersebut dan menurut saya boleh saja meraka yang tidak memilih melakukan protes kepada pemerintah atau presiden jika ada hak-haknya yang diambil akibat kebijakan atau ketidak adilan presiden tetapi dia juga harus menjalankan kewajibannya sebagai warga negara.Tetapi banyak juga yang mempermasalahkan golput dan setiap warga negara yang telah memenuhi ketentuan sebagai pemilih harus ikut memilih salah satu pasangan calon presiden dan wakilnya seakan-akan memilih adalah sebuah kewajiban. Jika memang memilih merupakan sebuah kewajiban meskipun tidak secara langsung dikatakan atau dicantumkan dalam peraturan sebuah negara bahwa memilih presiden dan wakilnya adalah wajib maka masyarakat harus cerdas dalam menetukan pilihanya dan harus lebih objektif dalam menilai pasangan calon presiden dan wakilnya.

Keikutsertaan seseorang dalam memilih merupakan bentuk kontribusi orang tersebut secara langsung dan menjadi bagian dalam menentukan siapa yang akan memimpin bangsa ini mekipun hasilnya kadang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Menurut saya zona netral adalah posisi yang ideal sehingga kita dapat menjadi lebih objektif dalam menilai sebagai upaya kita untuk menentukan siapakah pasangan calon presiden dan wakilnya yang akan kita pilih dalam pemilihan umum nanti. Apapun makna yang kita ambil terkait hak atau kah kewajiban untuk ikut memilih dalam pemilihan umum nanti, usaha yang kita lakukan untuk berpartisipasi dalam pesta rakyat lima tahunan ini baik dalam mencari informasi terkait pasangan calon, ikut kampanye dengan mendukung salah satu pasangan calon dan ikut serta dalam pemilihan umum nanti merupakan bagian dari upaya kita untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik, adil dan sejahtera. Tidak beranggapan bahwa apa yang terjadi pada bangsa ini adalah “apa yang sudah ditakdirkan oleh Tuhan sejak dulu”. Sudah sepatutnya kita bersyukur lahir di bangsa yang tanahnya begitu subur, alamnya indah dan kaya, masyarakatnya beragam terdiri dari banyak suku, budaya, dan agama yang berbeda. Bangsa yang begitu unik dan yang pasti harus kita jaga siapapun pemimpinya. Siapapun presiden yang terpilih nanti yang jelas kita telah berusaha dan kita serahkan hasilnya pada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Siapa dan apapun yang kita pilih, kita tetap dukung Indonesia. Bersyukur dan Ikhlas, Yakin Usaha Sampai !








Ditulis oleh: Andri Sukrudin
                   ( Bidang Pengembangan Anggota HMI Cabang Bogor Komisariat FEM IPB)