Rabu, 28 Mei 2014

ERA POLITIK MILITER DEPENDENSIA DI INDONESIA

         Apabila dilihat dari bentuk pemerintahannya, politik di sebuah negara dapat dibedakan menjadi bentuk pemerintahan sipil dan militer. Bentuk pemerintahan ini ditentukan oleh gaya kepemimpinan di sebuah negara tersebut. Untuk Indonesia sendiri, pergulatan antar ranah sipil dan militer ini telah lama berlangsung dan menghasilkan supremasi antar keduanya. Pergulatan tersebut dimulai dengan kepemimpinan Orde Lama Soekarno dan Orde Baru Soeharto yang dikenal dengan SUPERSEMAR-nya. Pada waktu itu kepemimpinan Soekarno dirasa tidak dapat menjaga stabilitas negara dan akhirnya militer merasa harus ikut campur tangan dalam dunia pemerintahan untuk meredam pergerakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang pergerakannya sudah mulai radikal. Akhirnya Soeharto muncul dengan Orde Barunya dan berhasil meredam aksi PKI tersebut dan bertahan selama kurang lebih 3 dekade di Indonesia. 

                                          - Soekarno & Soeharto (Sumber : Google Images)-

Dalam kurun waktu tersebut Soeharto dapat bertahan dengan gaya pemerintahan “tangan besi”-nya dan berhasil memperkuat keberadaan militer di pemerintahan dengan Dwi Fungsi ABRI-nya. Dengan begitu kestabilan negara Indonesia pada waktu itu dapat bertahan dari ancaman luar negeri bahkan gerakan dalam negeri. Yang pada akhirnya kestabilan negara pada waktu itu harus runtuh oleh munculnya krisis moneter sepanjang tahun 90-an dan berhasil melengserkan Soeharto dari kursi pemerintahannya.

            Setelah runtuhnya era pemerintahan militernya Soeharto tersebut, pemerintahan sipil muncul kembali dengan munculnya beberapa presiden yang berasal dari kalangan sipil di Indonesia yaitu BJ Habiebie, Abdurrahman Wahid serta Megawati Soekarno Putri. Tetapi sayangnya era pemerintahan sipil tersebut tidak dapat bertahan lama seperti era Soeharto. Ketika mulai era pemilu (pemilihan umum) pertama yaitu pada tahun 2004, muncul sosok SBY sebagai presiden Indonesia. Ini menandakan bergulirnya pemerintahan sipil menjadi militer kembali. Dari kelima capres dan cawapres yang lolos yaitu SBY-JK, Mega-Hasyim, Amien-Siswono, Wiranto-Wahid, Hamzah-Agum, hanya 2 capres-cawapres yang murni mengusung pemerintahan sipil sedangkan sisanya adalah gabungan antara sipil-militer.

Pada pemilu tahun 2009 komposisi sipil-militer ini kembali muncul dengan 3 capres-cawapres yang lolos yaitu SBY-Boediono, Mega-Prabowo dan JK-Wiranto dan kembali memenangkan SBY-Boediono sebagai presiden dan wakil presiden sampai sekarang. Nampaknya meskipun Dwi Fungsi ABRI sudah tidak berlaku lagi tapi peran militer di pemerintahan masih kuat. Sampai sekarang dengan akan dilangsungkannya pemilu 2014, capres/cawapres dari latar belakang militer masih bertahan dengan munculnya sosok Wiranto dan Prabowo. Tetapi ada yang menarik pada pemilu 2014 ini. Meskipun kemungkinan Prabowo untuk menjadi presiden kuat tetapi ada saingan terberatnya yang berasal dari kalangan sipil yaitu Jokowi. Dan apabila dilihat dari komposisi yang akan digunakan Jokowi dalam pemerintahannya, nampaknya Jokowi tidak akan memilih cawapres dari latar belakang militer apabila dilihat dari isu koalisi saat ini.

Munculnya sosok Jokowi yang dengan waktu cepat dikenal dan dipuji oleh rakyat dengan gaya egaliter dan blusukannya berhasil membawa Jokowi dari awalnya Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta, sampai sekarang menjadi capres sepertinya menjadi momentum berakhirnya ketergantungan (dependensia) rakyat terhadap pemerintahan militer di Indonesia, terlepas dari faktor lain yang melatarbelakanginya. Itupun dengan asumsi Jokowi memenangi Pemilu 2014 ini dan berhasil mengalahkan Prabowo dan capres-cawapres lainnya. Tetapi setidaknya embrio-embrio paradigma masyarakat tentang pemerintah tidak harus selalu bergaya militer nampaknya sudah mulai tumbuh. Tetapi apabila Jokowi nantinya menang dan tidak berhasil menjaga stabilitas negara seperti era reformasinya BJ Habibie, Gusdur, dan Megawati mungkin saja embrio-embrio yang mulai tumbuh itu bisa mati kembali dan pemerintahan militer muncul kembali.

                                - Jokowi & Prabowo (Sumber : Google Images) -


Menarik memang, supremasi antara sipil dan militer yang saat ini sedang berlangsung akan menentukan gaya pemerintahan Indonesia kedepannya. Bila dihubungkan dengan era globalisasi yang mana peran pemerintahan dibatasi, mungkin pemerintahan militer kurang cocok dengan isu tersebut. Tetapi siapa tau ada proses dinamika dan revolusi gaya pemerintahan militer kedepannya dalam menyesuaikan dengan era globalisasi. Kita nantikan saja kedepannya, mana yang akan muncul. Apakah bentuk pemerintahan sipil yang akan muncul dan rakyat sudah tidak tergantung pada pemerintahan militer? Atau rakyat masih tergantung pada pemerintahan militer? Atau mungkin rakyat tidak peduli bentuk pemerintahan apa yang akan muncul, yang penting rakyat sejahtera dan pancasila dapat ditegakkan dengan benar???

Ditulis oleh : Khoerul Imam Fatwani - Pengurus HMI Cabang Bogor

Minggu, 25 Mei 2014

MAHASISWA





Kesadaran Mahasiswa berada pada taraf terendah
Keinginan untuk menulis dan membaca pun terkikis
Terkikis oleh kemolekan dan kemenarikan teknologi yang ditawarkan dunia

Mahasiswa terlena, mahasiswa kehilangan kewajiban terkikis tradisi menyalin
Menyontek pun menjadi lumrah
Mendewa-dewakan sebuah fasilitas bernama bimbingan belajar

Bacaan besar tersingkir oleh kemudahan jalan pintas yang ditawarkan
Sebuah kemandirian yang menjadi keharusan bertranformasi menjadi ketergantungan

Apa kita ini Mahasiswa ?
Atau kita Ini hanyalah gerombolan pengikut berharap kemudahan ?
Hidup itu tidak mudah teman !
Begitu pula menjadi mahasiswa yang merupakan agen masa depan

Masa depan apa yang kita tuju ?



Ditulis oleh : Achmad Rivano Tuwow

Kamis, 22 Mei 2014

Renovasi Otak untuk Juli 2014


sumber gambar: Tribunnews.com

Dialog dini hari, sebuah band dari bali menciptakan lagu dengan lirik pintar dan enak didengar berjudul 'Renovasi Otak'. Namun bukan musiknya yang ingin saya bahas tapi saya izin mengutip kata 'Renovasi Otak' , untuk juli 2014 nanti. Jujur saya mual melihat orang orang mengumbar kebaikan dan keburukan dari kedua capres. Marilah kita sebut namanya agar lebih enak, Bpk. Prabowo dan Bpk. Jokowi.

Kedua orang ini sedang sangat ribut diperbincangkan di seantero negeri, wajar memang karena mereka adalah calon pemimpin indonesia 5 tahun kedepan. Namun saya sekarang mual, banyak orang di semua linimasa mengumbar kelebihan dari capres yang diusung dan mengumbar kekurangan dari capres yang menjadi lawan.

Mungkin mereka tidak tahu bunyi hukum gosen I: Sesuatu yang terus dikonsumsi hingga utilitasnya maksimum akan menyebabkan penurunan tingkat kepuasaan saat terjadi penambahan konsumsi. Intinya sesuatu yang terus menerus akan menyebabkan muak nantinya. Contoh nyatanya: ketika kita lapar dan kita makan, pada saat kita makan untuk pertama kali, kenikmatannya akan terasa sangat besar. Tapi ketika kita memutuskan untuk terus makan, makan, makan dan makan pasti akan menyebabkan kita muntah.

Seperti itulah keadaan yang saya lihat dan kebanyakan di sosial media. Banyak sekali orang-orang umbar umbar kesuksesan jokowi dalam membenahi jakarta dan solo, umbar umbar kesuksesan prabowo saat menjadi pengusaha,militer dan kemandiriannya, umbar umbar isu jelek kalau prabowo terduga kasus HAM, atau misalnya umbar isu jelek kalau jokowi pro asing dll. Sekali tidak apa, dua kali tidak apa, berkali kali saya muak melihatnya. Padahal saya tidak bermaksud melihat info info itu, tapi apa boleh bikin semua tersaji rapi di semua media tanpa harus susah payah mencari.

Apa kita lupa kalau manusia pada hakikatnya terdiri dari dua unsur: Baik dan Buruk. Jadi untuk apa baik dan buruk diperdebatkan berulang ulang kalau itu memang takdir manusia? Semua orang punya baik dan buruk, ya klise kedengarannya, tapi walaupun klise dan naif tetap saja mereka lupa hal yang klise tersebut. Apa kita sekarang sedang merasa jetlag politik menjelang pemilu 2014? Merasa paling mengerti tentang politik tapi kita tidak bisa jawab kalau ditanya 'politik itu apa?'

Saya pernah baca buku teori ekonomi politik dari prof. soemitro (kalau tidak salah), disitu ada pernyataan: Sistem politik, ekonomi dan pemerintahan itu seperti obat. Obat A hanya bisa menyembuhkan penyakit A, tapi tidak bisa menyembuhkan penyakit B. Begitu kurang lebih. Sudah jelas disini, apakah ada obat sakti mandraguna menyembuhkan semua penyakit? Tidak ada. Mimpi. Begitu juga presiden, pemerintahan dan semua sistemnya.

Kita harus tahu, apa yang dibutuhkan Indonesia bukan apa yang diinginkan Indonesia. Bukan pamer kelebihan antar calon, buat apa kalau Presiden A punya kelebihan di bidang X, tapi indonesia sedang membutuhkan renovasi di bidang Y? Mubazir yang ada. Kalau bicara Indonesia terlalu luas, mari kita persempit jadi, apa yang dibutuhkan oleh kita untuk 5 tahun kedepan? Pasti tidak susah untuk menjawab.

Dan yang terakhir, banyak orang berfantasi kalau pemimpinnya harus punya kelebihan banyak, tak ada dosa, ibarat malaikat. Saya sudah terlalu lelah untuk menjawab perihal ini, saya akan mengutip pernyataan dari james madison, bapak konstitusi dari amerika serikat: if men were angels, no government would be necessary.

Saya pribadi punya sentimen negatif dengan orang yang terus diagung-agungkan atau mengagung-agungkan dirinya. Kenapa? Karena saya merasa jika seseorang terus disanjung atau menyanjung dirinya sendiri itu bukanlah manusia, karena (saya ulangi) manusia hanya terdiri dari dua unsur: Baik dan Buruk. Apakah orang semacam itu bukan manusia? Apakah dia malaikat yang tersesat di bumi? Fantasi dan Imajinasi.

Ayolah manusia, renovasi pola pikir, jangan terus menuntut semuanya, jangan terus menolak semuanya. Cari tahu apa yang kita, bangsa kita butuhkan. Bukan pamer kelebihan antar calon terus terusan sampai muak. Saya akan mengutip kata kata dari tulisan saya sebelumnya yang berjudul sederhana; Matahari tidak pernah pamer dan bilang kalau dia adalah makhluk yang paling panas, tanpa perlu dia pamer dan bilang, semua makhluk hidup sudah mengakui kalau dia makhluk yang paling panas.

Ayo, Renovasi Otak!



Ditulis oleh: Muhamad Rifki Maulana

Rabu, 21 Mei 2014

KRITERIA PEMIMPIN BANGSA BAGI PEMBANGUNAN EKONOMI NASIONAL



Wakil rakyat seharusnya merakyat, jangan tidur waktu sidang soal rakyat. Wakil rakyat bukan paduan suara, hanya tau nyanyian lagu setuju. Begitulah salah satu petikan lagu dari seorang Iwan Fals yang peduli dengan negeri ini untuk mengingatkan wakil rakyat sebagai pemangku kebijakan yang harus pro rakyat.
Di tahun politik ini banyak dari masyarakat indonesia berharap akan mendapatkan calon pemimpin bangsa yang baru yang dapat membawa indonesia ke gerbang pembangunan ekonomi yang digambarkan dengan tingkat  kesejahteraan yang merata. Banyak dari kita berharap akan adanya  sosok pemimpin yang kuat untuk ketahanan, keamanan, dan kemajuan bangsa yang lebih baik.
Adapun permasalahan kemiskinan indonesia yang semakin meningkat di Indonesia merupakan topik hangat yang biasa diangkat untuk bahan pertimbangan bagi calon pemimpin selanjutnya. Perkembangan tingkat kemiskinan di indonesia dapat dilihat pada indeks kedalaman kemiskinan naik dari 1,75% (maret 2013) menjadi1,89%. Kemudian indeks  keparahan kemiskinan naik dari 0,43% (maret) menjadi 0,48%. Sementara nilai indeks keparahan kemiskinan untuk perkotaan hanya 0,37% sementara di daerah pedesaan sebesar 0,60%. Fenomena Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Indonesia pada Agustus 2013 mencapai 6,25% mengalami peningkatan dibanding TPT Februari 2013 sebesar 5,92% dan agustus 2012 sebesar 6,14%  (Sumber BPS). Hal ini merupakan tugas utama yang perlu diprioritaskan bagi sosok pemimpin selanjutnya.
Di periode 2020-2030 sebagai periode emas pertumbuhan ekonomi ketika diprediksi akan terjadinya bonus demografi di indonesia, dimana penduduk usia produktif di Indonesia akan membludak, hal ini akan menjadi kesempatan emas bagi indonesia untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional  jika saja Indonesia mampu membekali penduduk usia produktifnya dengan sarana pendidikan dan kesehatan yang memadai sehingga Indonesia memiliki kualitas sumber daya manusia yang berdaya saing tinggi tinggi di kancah global.
Perlunya pembangunan dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang harus menjadi topik utama bagi calon pemimpin dan pemerintahan selanjutnya guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. 
Diperlukannya sosok pemimpin yang  visioner dengan visi dan misi yang jelas bagi pembangunan bangsa indonesia dan kecerdasan dalam berdiplomasi untuk dapat bernegosiasi di kancah global dengan baik demi tercapainya ketahanan, keamanan, kesejahteraan dan keadilan sosial. Serta kecakapan dalam menyusun strategi pembangunan di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, ketahanan, dan keamanan serta tidak memihak suatu golongan dalam memutuskan suatu  kebijakan. 

Dituliskan oleh : Alfianisa Tongato - Kader Muda HMI Cabang Bogor, Komisariat FEM.

Jumat, 09 Mei 2014

MODERENISME DAN MATERIALISME



Mengacu pada titik awal perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kedaulatannya sampai pada sekarang yang dikenal era reformasi, perubahan banyak terjadi pada setiap sisi kehidupan bangsa Indonesia, mulai dari perubahan politik, ekonomi, sosial budaya dan lain sebagainya. Pengaruh-pengaruh dari dalam serta dari luar merupakan faktor pendukung perubahan tersebut. Hal tersebut dapat dikatakan sesuatu hal yang wajar mengingat manusia ini adalah makhluk yang dinamis. Apalagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknlogi berkembang pesat pada abad 20 dan 21 ini menjadi faktor perubahan. Perubahan-perubahan yang saya maksud disini adalah perubahan nilai-nilai. Baik itu nilai-nilai ideologis, budaya, ekonomi, politik dan nilai-nilai lain yang lazimnya menjadi ciri khas sebuah bangsa.
Indonesia adalah sebuah negara yang heterogen, diakui sebagai negara yang kaya akan budaya selain kekayaan alamnya. Apabila kita lihat budaya ini sebagai sebuah nilai, tentu masih banyak orang yang tidak banyak tahu mengenai nilai budaya ini. Ironis memang, ketika bangsa yang katanya “kaya budaya” ini harus kehilangan nilai-nilai atau saya katakan bangsa ini “kehilangan ruh” nya. Sungguh tidak dapat dipungkiri adanya, kerapuhan nilai ini terjadi karena adanya perubahan paradigma bangsa ini yang cenderung terlalu bebas menerima dan menerapkan nilai-nilai dari luar. Salah satunya adalah paradigma mengenai modernisasi.
Pembentukan paradigma modernisasi ini masuk dari berbagai sisi kehidupan bangsa Indonesia. Paradigma ini membentuk sebuah opini bahwa yang namanya pergerakan menuju modern adalah sebuah kemajuan dan hal-hal yang bersifat tradisional ini dianggap sebagai sebuah keterbelakangan. Memang kita bukanlah sebuah negara yang tertutup dan statis, boleh saja kita terbuka dengan setiap perubahan tetapi tanpa meninggalkan nilai-nilai yang kita anut dan sudah menjadi cri khas bangsa kita.
Ada pepatah atau idiom yang menyebutkan bahwa kalau mau menghancurkan sebuah negara, hancurkan dulu budayanya. Tanpa dipungkiri hal itu sudah terjadi di Indonesia. Bahkan nilai-nilai dasar perjuangan bangsa ini yaitu Pancasila sudah mulai tergerus oleh paham modernisasi tersebut. Kearifan-kearifan lokal yang sebenarnya menjadi modal utama pembangunan negara ini serta menjungjung tinggi nilai-nilai budaya dan tradisional banyak yang ditinggalkan karena dianggap terbelakang. Untung saja kita masih mempunyai beberapa sekelompok orang di pedalaman Baduy, Dayak, Mentawai, dan pedalaman-pedalaman lainnya di Indonesia yang belum terpengaruh oleh paham modernisasi ini dan masih mempertahankan nilai-nilai yang dianutnya. Tetapi sayangnya suku-suku ini kadang dianggap penghalang bagi kemajuan bangsa ini.
Fenomena modernisasi ini diperkuat oleh berkembangnya paham materialistis. Paham ini masuk melalui sistem ekonomi kapitalis yang belakangan ini tengah menguasai sebagian besar dunia ini lewat pendekatan-pendekatan rasionalnya. Pendekatan rasional disini yang paling populer adalah “maximalisation utilty”, yaitu adanya keinginan manusia yang tidak terbatas. Pada paham ini manusia dituntut untuk terus mengejar keinginannya tanpa memikirkan aspek-aspek lain seperti lingkungan, sosial, dan lainnya. Manusia berhak menentukan takdirnya sendiri dan berdiri sebagai individual-individual bukan sebagai sosial. Dengan begitu agak sulit ketika membedakan mana kebutuhan dan mana keinginan manusia, yang mana ketika kebutuhan manusia itu terpenuhi, masih ada target keinginan lain yang harus dicapai oleh individu tersebut tanpa memikirkan terpenuhinya kebutuhan individu lain.
Apabila ditarik benang merah antara modernisasi dan materialisasi, ada sebuah titik temu yang menyebabkan keduanya saling mempengaruhi atau dalam hal ini saling memperkuat. Ketika nilai-nilai asli bangsa ini yang dikenal dengan nilai “ke-gotongroyong-annya”  harus tereduksi oleh kedua paham tersebut sehingga ruh bangsa ini harus hilang bahkan dalam aspek kebudayaan dan ekonominya. Padahal kedua aspek tersebut harusnya saling memperkuat satu sama lainnya bukan malah mereduksi antar keduanya. Ekonomi tanpa budaya tidaklah bernilai. Percuma saja pertumbuhan ekonomi melaju pesat tapi ketimpangan masih nyata terlihat dan semakin besar, hal itu bisa dilihat dengan rasio gini pada tahun 2011 yang mencapai angka 0,41. Rekor terbaru yang dicapai itu merupakan angka terbesar selama  pemerintahan Indonesia. Disinilah peran kebudayaan terlihat karena indikator-indikator ekonomi pada saat ini masih belum bisa menjelaskan kesejahteraan secara menyeluruh.
Itulah kenapa alasannya paham ekonomi pancasila-nya Indonesia masih berada pada tataran pemikiran semata, belum ada realisasinya. Tidakkah kita belajar dari Jepang yang dikenal dengan sistem ekonomi “Asian Ways” nya yang mana unsur kebudayaan memperkuat saling ekonomi begitupun sebaliknya. Kearifan-kearifan lokal yang ada seharusnya dijadikan sebuah rekontruksi kebijakan dalam membangun sebuah sistem bukannya malah terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran yang dirasa cemerlang tanpa menyesuaikan dengan rekontruksi masyarakat dan bangsa ini. Setiap hari pemikiran itu terakumulasi menjadi sebuah sistem yang kuat dan tanpa disadari semua individu yang ada di sistem ini telah menjadi korban. Itulah kenapa ketika masalah kemacetan, banjir, ketimpangan, bahkan kehilangan nilai-nilai yang sudah lama dipegang ini menjadi sebuah kewajaran. Sekarang tinggal memilih saja, apakah kita mau tetap menjadi korban dengan mengikuti paham mainstream yang ada? Atau mulai memahami nilai-nilai yang dikandung oleh Pancasila? Pilihan yang kedua tentunya sangat sulit, bukankah kita sekarang tengah menikmati posisi sebagai korban itu sendiri?


 Dituliskan oleh - Khoerul Imam Fatwani - Wasekum HMI Cabang Bogor.