Sebelum terjadinya reformasi, tepatnya pada era orde
baru sistem pemerintahan di Indonesia bersifat sentralisitik (sentralisasi). Dalam sistem pemerintahan yang bersifat
sentralisasi pengaturan pemerintahan berada di pemerintah pusat, sedangkan
pemerintah daerah hanya bertindak sebagai eksekutor dalam perencanaan yang
ditetapkan oleh pemerintah pusat. Dampak dalam sistem pemerintahan ini,
berujung pada ketidakmerataan pembangunan yang terjadi di pusat dan di daerah.
Hal ini lah penyebab terjadinya dorongan yang sangat kuat dari berbagai pihak
agar dibentuknya peraturan tentang otonomi daerah.
Otonomi daerah menjadi sebuah tuntutan dalam
perjalanan reformasi di Indonesia. Kurang lebih satu tahun setelah terjadinya
reformasi tepatnya pada tahun 1999, para anggota dewan di senayan mengetuk palu
atas pengajuan draf Undang-undang No. 22
tahun 1999 (tentang pemerintah daerah) dan Undang-undang No. 25 tahun 1999 (tentang
perimbangan keuangan). Selanjutnya, berdasarkan pertimbangan yang mengacu pada
Pancasila (sebagai dasar negara) maka UU No. 22 tahun 1999 diganti menjadi UU
No. 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah.
Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia
mengambarkan kondisi dan visi negara. Dimana, keberagaman yang dimiliki menjadi
modal penting untuk mencapai kesejahteraan bersama tanpa terkecuali masyarakat yang
miskin. Hal ini lah yang menjadi track dalam
perjalanan otonomi daerah di negeri ini. Akan tetapi sangat disayangkan jika
dalam perjalanan otnomi daerah, pengembangan potensi-potensi daerah hanya dapat
dinikmati oleh beberapa golongan saja.
Kabupaten Bogor merupakan daerah yang memiliki tanah
yang subur, tidak heran jika daerah ini mengandalkan sektor pertanian sebagai salah
satu penopang perekonomian bagi masyarakatnya. Pada tahun 2013 terdapat 50.756 rumah tangga petani yang menggantungkan hidup
di sektor pertanian. Jumlah ini sangat kecil jika dibandingkan tahun 2006 (sebelum undang-undang otonomi daerah
diberlakukan) yaitu sebesar 255.224 RTP (BPS Kab. Bogor).
Jumlah RTP di Kabupaten Bogor yang berkurang
disebabkan banyaknya petani yang beralih ke sektor lain. Kebanyakan lahan yang
dikelola petani tersebut beralih fungsi dari lahan pertanian menjadi lahan
industri dan jasa yang dibangun untuk kpentingan pemodal-pemodal besar.
Berdasarkan data statistik luas lahan pertanian di daerah ini pada tahun 2010 sebesar
48. 484 hektare. Akan tetapi luas tersebut lebih kecil dibandingkan luas lahan
pertanian Kabupaten Bogor pada tahun 2006 yaitu sebesar 65.000 hektar (BPS Kab.
Bogor). Keseriusan pemerintah daerah menjadi ‘kunci’ pembangunan pertanian di
daerah ini.
Alokasi pembangunan untuk sektor pertanian di
Kabupaten Bogor sangatlah kecil. Dalam Rancangan Kerja Pembangunan Daerah (RKPD)
Kabupaten Bogor, dana yang dialokasikan untuk pertanian dan kehutanan hanya
sebesar Rp. 45.702.645.000. Jumlah ini sangat kecil jika dibandingkan dengan
total RKPD 2013 yang mencapai Rp. 2.531.237.850.119 atau hanya kekitar 1,8
persen. Menjadi hal wajar ketika para petani-petani kecil yang mempunyai modal
kecil relatif sulit untuk mencapai ‘kata sejahtera’.
Menurut Sahara (Dosen Ilmu Ekonomi Institut
Pertanian Bogor) dalam acara Hipotex-R 2013 menyatakan bahwa sektor pertanian merupakan
sektor yang penting dalam pembangunan perekonomian Indonesia. Karena pada
sektor pertanian dapat menimbulkan multiplier effects (pemacu timbulnya
kegiatan perekonomian lain) yang lebih besar dibandingkan sektor lainnya
termasuk industri manufaktur. Multiplier effects pada sektor pertanian akan memacu tumbuknya kegiatan ekonomi di sektor
lain. Seluruh masyarakat akan merasakan efek dari kegiatan perekonomian
dibidang pertanian, baik itu masyarakat yang bermodal kecil maupun masyarakat
bermodal besal. Beberapa sektor yang timbul dari kegiatan perekonomian ini,
diantaranya industri pengolahan bahan pertanian, industri pengangkutan, UKM,
pariwisata, dll.
Begitu banyak keuntungan yang akan didapatkan
Kabupaten Bogor jika pemerintah daerah (pemda)berfokus untuk mengembangkan
sektor pertanian. Sangat disayangkan
jika pemda tetap enggan membangun
pertanian sebagai ‘motor’ utama dalam perekonomianan wilayahnya. Pemda
Kabupaten Bogor hanya berfokus pada
pembangunan infrastruktur jalan raya yang sebagian besar digunakan oleh
mobil-mobil masyarakat yang kaya truk-truk industri manufaktur. Sedangkan
hampir tidak terlihat pembangunan infrastruktur pertanian misalnya irigasi dan
aduk untuk lahan pertanian. Hanya kelompok-kelompok pemodal besar dan orang
kaya lah yang dapat menikmati keuntungan dari pembangunan ini. Sedangkan
kelompok masyarakat kecil akan terus berputar otak untuk mencapai
kesejahteraannya.
Pada akhirnya, otonomi yang dibentuk oleh wakil
rakyat Indonesia semakin jauh dari koridor Pancasila.
Ditulis Oleh: Pangrio Nurjaya
Sumber-Sumber Terkait :
·
RKPD-Kabupaten Bogor 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar