Senin, 30 Juni 2014

Hidup Matinya Sektor Pangan Indonesia



Berbicara tentang ketahanan nasional tidak terlepas dari ketahanan pangan negara tersebut, memiliki kekuatan diplomasi, militer yang kuat belum tentu merupakan indikator negara tersebut memiliki ketahanan nasional yang kuat, kata-kata yang terucap dari sang proklamator kita yaitu, Ir. Sukarno “ HIDUP MATI SUATU BANGSA DITENTUKAN OLEH KEKUATAN PANGAN BANGSA ITU SENDIRI”. Oleh karena itu saya selaku penulis tertarik untuk menuangkan ide tentang ketahanan nasional yang didasari oleh ketahanan pangan negara tersebut.
Jargon Indonesia sebagai negara agraris selalu bergema di telinga anak-anak negeri. Oleh karena, itu tidak heran banyak anak Indonesia yang hingga kini dengan tegas mengatakan bahwa negeri zamrud khatulistiwa ini adalah negara yang makmur karena kemajuan pertaniannya. Indonesia adalah negeri agraris dengan kekayaan alam melimpah, termasuk dalam hal ini adalah tanaman pangan. Namun, masih terdapat kalangan masyarakat yang belum terpenuhi kebutuhan pangannya yaitu tiga belas persen masyarakat miskin atau sekitar 30 juta masyarakat yang tergolong rawan ketahanan pangan. Perlu diketahui bersama bahwa kondisi ketahanan pangan bersifat dinamis dan berkembang sehingga permasalahan yang dihadapi juga sangat kompleks, seperti penyediaan pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan yang terus meningkat  seiring dengan pertumbuhan penduduk, pemenuhan tuntutan kualitas dan keanekaragaman bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi, efektifitas pendistribusian bahan pangan, dan keterjangkauan pangan (food accessibility).
Sektor pertanian mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan nasional. Menurut data Badan Pusat Statistik Tahun 2010 sektor ini menyerap 40.491.257 (38,35%) tenaga kerja nasional dan sebanyak 14.081.620 (34,78%) orang merupakan Generasi Muda Pertanian atau tenaga kerja kelompok umur 15-34 tahun. Potensi tenaga kerja pada kelompok umur yang tergolong muda ini juga dikategorikan sebagai Generasi Muda Pertanian yang memiliki kedudukan strategis untuk dikembangkan kapasitasnya, sehingga dapat berfungsi sebagai pengungkit yang menentukan keberhasilan pembangunan nasional khususnya pembangunan pertanian. Sektor pertanian juga berfungsi sebagai penyangga ketahanan nasional baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun keamanan. Selanjutnya data statistik diatas menunjukkan bahwa penyerapan tenaga kerja sektor pertanian tidak sebanding dengan produk domestik bruto (PDB) yang disumbangkan sebesar 14,04 %. Kondisi ini berbeda dengan sektor lain dengan tingkat penyerapan tenaga kerja yang lebih rendah menyumbang PDB yang lebih besar. Sektor industri menyerap tenaga kerja 12,78% menyumbang PDB 25,39%, dan sektor jasa menyerap tenaga kerja 14,75% menyumbang PDB 9,24%. Kondisi demikian mencerminkan produktivitas tenaga kerja di bidang pertanian tergolong rendah. Produktivitas yang rendah ini dipengaruhi banyak faktor antara lain tingkat pendidikan, penguasaan teknologi, ketersediaan sarana dan prasarana, akses pasar dan permodalan.  Generasi Muda Pertanian sebagai aset insani perlu mendapat prioritas dalam penyusunan perencanaan program pembangunan pertanian supaya menjadi generasi penerus, penggerak dan pelopor yang inovatif, kreatif, profesional, mandiri, mampu bersaing, dan berwawasan global serta mempersiapkan kapasitas generasi muda dalam menyambut komunitas ekonomi asean 2015.
Indonesia dikaruniai begitu banyak sumberdaya alam, tanah yang subur dengan keaneragaman hayati yang tinggi. Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman, begitu lirik dalam lagu "Kolam Susu" Koes Plus, grup band asal Tuban. Tapi akhir-akhir ini kita dikejutkan dengan kasus impor beras vietnam, kasus impor apel China, dan impor garam. Aneh bin ajaib, negeri se-kaya ini, negeri sesubur ini masih melakukan impor pangan, yang notabene bisa dihasilkan sendiri didalam negeri. Pemerintah memang tidak tinggal diam, dengan membuat UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan, yang didalamnya terdapat konsep ketahanan pangan. UU no 18 tahun 2012 bab 1 pasal 1 point ke-4 definisi Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Yang perlu digarisbawahi disini adalah "KONDISI TERPENUHINYA" jika kita berpikir kritis, yang dimaksud kondisi terpenuhinya itu yang bagaimana ? dengan produksi sendiri kah atau dengan cara yang praktis yaitu impor ?
Hasil survey petani 2013 mendapatkan data bahwa selama 2003-2013 terjadi penurunan jumlah keluarga petani sebesar 5 juta jiwa. Pemerintah telah mencatat bahwa telah terjadikonversi lahan pangan sebesar 100.000 Ha tiap tahunnya, hal ini tidak seimbang dengan program pemerintah untuk pencetakan sawah setiap tahun 50.000 Ha. Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai instansi terkait, mencatat impor yang tidak sedikit jumlahnya.Secara volume (Januari-Oktober), impor pangan mencapai 15,4juta ton atau setara dengan US$ 7,73 miliar. Jenis pangannya pun sangat beragam. Mulai dari singkong, cabai, kopi, susu, bawang, tepung terigu, kedelai hingga beras (detik Finance). Tentunya menjadi semakin miris Karena pangan ini bias diproduksi di dalam negeri. UU No 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan pun tidak berkutik mengatasi laju konversi lahan pangan. Pada UU No 18 Tahun 2012 bab IV pasal 14 point 1 terdapat syarat penting bahwa Sumber penyediaan Pangan berasal dari Produksi Pangan dalam negeri dan Cadangan Pangan Nasional. Dalam hal sumber penyediaan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum mencukupi, Pangan dapat dipenuhi dengan Impor Pangan sesuai dengan kebutuhan. Lalu Bagaimana kita mewujudkan "KETAHANAN PANGAN" dengan konsep memproduksi sendiri, bila pemerintah tidak serius menangani permasalahan konversi lahan, kurangnya jumlah petani, maraknya impor pangan yang telah terjadi. Menurut UU No. 18 tahun 2012 bab 1 pasal 1 point ke-4 definisi Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi Negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan".
Solusi yang ditawarkan penulis kepada pemerintah adalah menegakkan dan menjalankan amanat UU Pokok Agraria No 5 Tahun 1960, UU No 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan, UU No 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan  Petani. Dan perlu di ingat bahwa Pemerintah memiliki Generasi Muda Pertanian sebanyak 14.081.620  (34,78%) dengan rentang 15-34  tahun (BPS 2010). Sebuah potensi yang besar dan sangat perludi perhatikan dan dikembangkan kapasitasnya. Karena merekalah adalah penerus dan pemberi makan bangsa kita nanti.

Dituliskan oleh : Tri Arifin Darsono - Ketua Bidang PTKP Komisariat FEM HMI Cabang Bogor

BUKAN HANYA TOPENG POLESAN



Dalam masa kampanye yang sekarang ini sedang berlangsung, dimana kedua kandidat calon presiden mengutarakan visi dan misi jika di masa depan ia akan menjabat sebagai pemimpin negeri ini memang rawan terjadinya politik hitam yang menjatuhkan lawan melalui cara-cara yang tidak sehat seperti memfitnah hal yang tidak benar. Yang jelas dalam agama dituliskan bahwa fitnah lebih kejam dari pembunuhan.
Adanya acara debat antara kedua calon kandidat presiden yang ditayangkan oleh beberapa stasiun televisi swasta tersebut bisa menjadi jalan tengah guna menghindari terjadinya politik hitam. Dimana dalam acara tersebut kedua calon kandidat capres saling beradu argumen masing-masing tetang pengetahuan ekonominya dan langkah-langkah solutif yang akan diambilnya jika ia akan memimpin kelak untuk Indonesia yang lebih baik lagi. Baik itu mengenai peningkatan pembangunan manusia yang berupa pembangunan pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Ataupun mengenai renegosiasi terhadap kerjasama dengan perusahaan asing dalam mengekspolitasi sumber daya alam Indonesia.
Acara seperti diatas tersebut patut diapresiasi di tengah berbagai pemberitaan di media yang cenderung menjual pencitraan salah satu kandidat saja. Kini masyarakat pun dapat melihat kualitas dari kedua calon kandidat yang akan maju sebagai presiden nantinya kelak. Adapun kritisi dalam berkampanye, yaitu

Jangan jual pencitraan!
Memang suat pencitraan itu penting bagi  masyarakat. Mayarakat akan mampu melihat sosok pemimpin yang akan dipilih nanti jika calon pemimpin tersebut mempunyai pencitraan yang baik maka masyarakat pun akan dengan sukarela memilihnya untuk maju ke kursi singgasana. Tapi bukan berarti saat berkampanye bisa menjual pencitraan dengan seenaknya, karena bagaimanapun masyarakat indonesia kini telah cerdas dalam melihat seberapa pantas calon tersebut menduduki kursi kepresidenan kelak.

Jangan jual janji!
Dalam masa kampanye ini memang sudah biasa bahwa calon pemimpin mengutarakan janji-janji. Tapi bukanlah janji yang banyak yang dibumbui oleh harapan palsu yang  dibutuhkan masyarakat kini, tapi adalah janji yang realistis mampu dan dapat terwujud. Karena bagaimanapun masyarakat akan menagih janji yang telah calon kandidat utarakan saat berkampanye.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam berkampanye diperlukan strategi jitu yang taat terhadap aturan yang berlaku sehingga jalannya kampanye akan aman dan damai serta diperlukan strategi jitu yang memang benar adanya bukan hanya sekedar polesan belaka untuk menarik simpati masyarakat. Sehingga diharapkan siapapun calon pemimpin yang nantinya akan naik menjabat menjadi Presiden Republik Indonesia kelak tidak perlu memakai topeng palsu yang dipoles saat masa kampanye, melainkan Indonesia punya pemimpin yang berkualitas, terbukti dan teruji mampu  mewujudkan masyarakat indonesia yang sejahtera, makmur, dan sentosa di masa depan.

Dituliskan oleh : Alfianisa Tongato - Anggota Komisariat FEM HMI Cabang Bogor

Jumat, 13 Juni 2014

Memilih dalam Pemilu, Hak atau Kewajiban?



            Bismillahirahmanirahim,.. Saya teringat pada suatu kesempatan latihan kader HMI, ketika itu sedang membicarakan tentang takdir. Saya berfikir bahwa ketika bebicara takdir maka yang ada di benak saya adalah sesuatu yang telah ditatapkan oleh Tuhan terkait alam semesta dan seisinya termasuk manusia, sebelum manusia lahir bahkan sebelum alam semesta yang kita ketahui ini diciptakan. Tetapi, saat itu pemateri mengatakan bahwa menurut dia, ketika manusia dan alam semesta ini akan diciptakan, Tuhan dengan sifat Yang Maha Mengetahui-Nya telah mengetahui semua yang akan terjadi pada alam semesta bahkan semua yang akan manusia lakukan oleh masing-masing individunya. Tuhan dengan sifat Yang Maha Kuasa dapat dengan mudah mengubah apa yang akan terjadi pada alam semesta ini juga apa yang akan terjadi dan apa yang akan dilakukan oleh manusia, jika Tuhan menghendaki. Artinya bahwa semua yang terjadi pada alam semesta dan apa yang diperoleh manusia merupakan hasil dari apa yang dilakukan atau usaha manusia itu sendiri serta kehendak Tuhan dan bukan semata-mata karena takdir seperti yang selama ini saya fikirkan. Oleh karena itu menurut saya keliru orang-orang yang mengatakan “ biarkan sajalah sudah takdir Tuhan” tanpa adanya usaha untuk memperoleh yang lebih baik.

Bangsa ini pun sedang berusaha untuk menjadikana dirinya lebih baik dari sekarang atau bahkan sebaliknya, untuk lima tahun kedepan bahkan lebih melalui pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Meskipun tidak hanya melalui pemilihan umum untuk menjadikan bangsa ini menjadi lebih baik tetapi umumnya pemimpin memiliki proporsi yang cukup besar dalam menentukan arah dan kemajuan suatu bangsa. Pemimpin merupakan salah satu iconbagi suatu negara dalam dunia internasional terutama di era globalisasi seperti saat ini. Oleh karena itu menjadi penting bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam memilih pemimpin yang jujur, terbuka (trasparan atau tabligh), adil, amanah, cerdas,mampu memposisikan diri dalam dunia internasional semata-mata untuk kepentingan bangsa dan seluruh rakyat Indonesia serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
            
         Waktu pemilihan umum presiden dan wakil presiden semakin dekat dan pada saat-saat kampanye seperti sekarang ini tim sukses serta para pendukungnya yang antusias, sibuk menyuarakan dukungannya terhadap capres dan cawapres yang diusungnya. Berbagai media dimanfaatkan seperti televisi, radio, pembicaraan dari mulut ke mulut, internet bahkan yang sedang ramai sekarang melalui jejaring sosial untuk menceritakan kebaikan dari pasangan calon yang didukungnya dan menjelekan pasangan yang lain. Sebagian orang merasa terganggu dengan hal tersebut, menurut saya ini merupakan hal yang wajar dan kembali lagi kepada bagaimana kita dalam menyikapi hal tersebut.
           
       Bukan hanya orang-orang yang kurang peduli terhadap momen pemilihan umum ini saja yang merasa terganggu bahkan orang yang peduli dan sangat ingin berpartisipasi dalam pemilihan umum ini juga merasa jenuh terhadap hal tersebut. Saya ingat ketika sedang berbicara dengan teman saya yang mengatakan bahwa sepertinya dia akan golput dalam pemilihan peresiden kali ini. Dia merasa jenuh setelah berusaha mencari berbagai informasitentang masing-masing calon presiden yang akan ia pilih dan merasa bahwa masing-masing calon yang ada sekarang tidak sesuai dengan kriteria yang dia harapkan misalnya seperti kriteria pemimpin yang saya sebutkan sebelumnya. Ia merasa bahwa tidak harus menurunkan standar kriteria yang diharapkan dan semakin jenuh dengan pemberitaan media mengenai masing-masing pasangan calon presiden dan wakilnya. Saya juga teringat dalam kesempatan diskusi terkait golput, teman saya mengatakan bahwa tidak etis jika seseorang yang golput kemudian protes atas kebijakan yang dilakukan pemerintah atau presidennya. Mungkin maksudnya adalah sebisa mungkin kita berusaha untuk tidak golput. Sebuah artikel yang pernah saya baca di dalamnya penulis mengatakan bahwa sekarang bukan jamannya lagi untuk berada di posisi netral, kita harus menetukan sikap dan berpihak kepada salah satu pasangan calon yang menurut kita lebih baik.

            Seketika muncul pertanyaan dalam diri saya bahwa sebenarnya ikut memilih dalam pemilihan umum peresiden dan wakil presiden merupakan hak atau kah kewajiban bagi setiap warga negara yang telah memenuhi persyaratan sebagai pemilih?. Jika hal tersebut merupakan hak maka setiap warga negara bisa untuk tidak mengunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum tersebut dan menurut saya boleh saja meraka yang tidak memilih melakukan protes kepada pemerintah atau presiden jika ada hak-haknya yang diambil akibat kebijakan atau ketidak adilan presiden tetapi dia juga harus menjalankan kewajibannya sebagai warga negara.Tetapi banyak juga yang mempermasalahkan golput dan setiap warga negara yang telah memenuhi ketentuan sebagai pemilih harus ikut memilih salah satu pasangan calon presiden dan wakilnya seakan-akan memilih adalah sebuah kewajiban. Jika memang memilih merupakan sebuah kewajiban meskipun tidak secara langsung dikatakan atau dicantumkan dalam peraturan sebuah negara bahwa memilih presiden dan wakilnya adalah wajib maka masyarakat harus cerdas dalam menetukan pilihanya dan harus lebih objektif dalam menilai pasangan calon presiden dan wakilnya.

Keikutsertaan seseorang dalam memilih merupakan bentuk kontribusi orang tersebut secara langsung dan menjadi bagian dalam menentukan siapa yang akan memimpin bangsa ini mekipun hasilnya kadang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Menurut saya zona netral adalah posisi yang ideal sehingga kita dapat menjadi lebih objektif dalam menilai sebagai upaya kita untuk menentukan siapakah pasangan calon presiden dan wakilnya yang akan kita pilih dalam pemilihan umum nanti. Apapun makna yang kita ambil terkait hak atau kah kewajiban untuk ikut memilih dalam pemilihan umum nanti, usaha yang kita lakukan untuk berpartisipasi dalam pesta rakyat lima tahunan ini baik dalam mencari informasi terkait pasangan calon, ikut kampanye dengan mendukung salah satu pasangan calon dan ikut serta dalam pemilihan umum nanti merupakan bagian dari upaya kita untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik, adil dan sejahtera. Tidak beranggapan bahwa apa yang terjadi pada bangsa ini adalah “apa yang sudah ditakdirkan oleh Tuhan sejak dulu”. Sudah sepatutnya kita bersyukur lahir di bangsa yang tanahnya begitu subur, alamnya indah dan kaya, masyarakatnya beragam terdiri dari banyak suku, budaya, dan agama yang berbeda. Bangsa yang begitu unik dan yang pasti harus kita jaga siapapun pemimpinya. Siapapun presiden yang terpilih nanti yang jelas kita telah berusaha dan kita serahkan hasilnya pada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Siapa dan apapun yang kita pilih, kita tetap dukung Indonesia. Bersyukur dan Ikhlas, Yakin Usaha Sampai !








Ditulis oleh: Andri Sukrudin
                   ( Bidang Pengembangan Anggota HMI Cabang Bogor Komisariat FEM IPB)

Selasa, 10 Juni 2014

Bung Karno Menjawab antara Kapitalisme vs Nasionalisme



Dengan mengembangkan strategi NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis) Bung Karno membentuk kekuatan politik. Hal ini memang tidak langsung diterima saja dengan baik oleh berbagai kalangan, tetapi juga menuai kritikan yang keras dari berbagai pihak. Terutama pihak yang memihak kepentingan kapitalis dan imperialis, strategi ini dipakai untuk menjatuhkan Bung Karno.
Kapitalisme yaitu suatu sistem pergaulan hidup yang timbul dari cara produksi yang memisahkan kaum buruh dari alat produksi. Imperialisme modern yaitu:
1.      Indonesia menjadi negeri pengambil bekal hidup
2.      Indonesia menjadi negeri pengambil bekal pabrik-pabrik di Eropa
3.      Indonesia menjadi negeri pasar penjual barang-barang
4.      Indonesia menjadi lapangan usaha bagi modal yang ratusan-jutaan rupiah
Bung Karno berusaha menegakan kedaulatan ekonomi dengan prinsip self help dan self reliance, yaitu sistem ekonomi yang berdikari bukan berarti tertutup pada investasi asing, tapi memperluas kerjasama asing yang saling menguntungkan dan tidak menciptakan ketergantungan.
“dunia sekarang memang dunia yang tak bisa hidup tanpa bantu-membantu. Tetapi kita tidak mau dan tidak akan mengemis bantuan dari siapapun. Kita bangsa besar, kita bukan bangsa tempe. Kita tidak akan mengemis, kita tidak akan meminta-minta, apalagi jika bantuan itu diembel-embeli dengan syarat ini dan syarat itu! Lebih baik makan gaplek tetapi merdeka. daripada makan bistik tapi budak.”  Ya begitulah kutipan Bung Karno yang menyuarakan bahwa bagaimanapun kita harus merdeka.
Dalam Deklarasi Ekonomi (DEKON) dinyatakan jelas oleh Bung Karno bahwa strategi dasar ekonomi Indonesia, kita harus menciptakan susunan ekonomi yang bersifat nasional dan demokratis, yang bersih dari sisa-sisa imperialisme dan bersih dari sisa-sisa feodalisme. Tahap pertama adalah persiapan, tahap kedua adalah tahap ekonomi sosialis Indonesia yaitu ekonomi tanpa penghisapan manusia oleh manusia tanpa “exploitation de I’homme par I’homme.
Untuk mencapai hal itu semua maka diperlukannya kesatuan antar pemerintah maupun swasta (nasional dan demokratis dalam pembangunan nasional, dengan cara menggali dan mengelola kekayaan Sumber Daya Alam yang mengutamakan pertanian dan perkebunan, serta mementingkan pertambangan).
Dalam mencapai pembangunan ekonomi masional keahlian tentu saja perlu, tapi tanpa dilandaskan pada jiwa yang besar, tidak akan mencapai tujuan. Maka dari itu perlunya “Nation and Character Building”. Dan untuk menyuburkan nasionalisme itu sendiri yaitu dengan menunjukan bahwa rakyat punya dari hulu yang indah (sebelum terjajah), menginfaskan bahwa hari sekarang ( masa terjajah) adalah hari gelapdan hari kemudian yang terang benderang (hari kemerdekaan). 

Dituliskan oleh Alfianisa Tongato : Anggota Komisariat FEM Cabang Bogor