Jumat, 09 Mei 2014

MODERENISME DAN MATERIALISME



Mengacu pada titik awal perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kedaulatannya sampai pada sekarang yang dikenal era reformasi, perubahan banyak terjadi pada setiap sisi kehidupan bangsa Indonesia, mulai dari perubahan politik, ekonomi, sosial budaya dan lain sebagainya. Pengaruh-pengaruh dari dalam serta dari luar merupakan faktor pendukung perubahan tersebut. Hal tersebut dapat dikatakan sesuatu hal yang wajar mengingat manusia ini adalah makhluk yang dinamis. Apalagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknlogi berkembang pesat pada abad 20 dan 21 ini menjadi faktor perubahan. Perubahan-perubahan yang saya maksud disini adalah perubahan nilai-nilai. Baik itu nilai-nilai ideologis, budaya, ekonomi, politik dan nilai-nilai lain yang lazimnya menjadi ciri khas sebuah bangsa.
Indonesia adalah sebuah negara yang heterogen, diakui sebagai negara yang kaya akan budaya selain kekayaan alamnya. Apabila kita lihat budaya ini sebagai sebuah nilai, tentu masih banyak orang yang tidak banyak tahu mengenai nilai budaya ini. Ironis memang, ketika bangsa yang katanya “kaya budaya” ini harus kehilangan nilai-nilai atau saya katakan bangsa ini “kehilangan ruh” nya. Sungguh tidak dapat dipungkiri adanya, kerapuhan nilai ini terjadi karena adanya perubahan paradigma bangsa ini yang cenderung terlalu bebas menerima dan menerapkan nilai-nilai dari luar. Salah satunya adalah paradigma mengenai modernisasi.
Pembentukan paradigma modernisasi ini masuk dari berbagai sisi kehidupan bangsa Indonesia. Paradigma ini membentuk sebuah opini bahwa yang namanya pergerakan menuju modern adalah sebuah kemajuan dan hal-hal yang bersifat tradisional ini dianggap sebagai sebuah keterbelakangan. Memang kita bukanlah sebuah negara yang tertutup dan statis, boleh saja kita terbuka dengan setiap perubahan tetapi tanpa meninggalkan nilai-nilai yang kita anut dan sudah menjadi cri khas bangsa kita.
Ada pepatah atau idiom yang menyebutkan bahwa kalau mau menghancurkan sebuah negara, hancurkan dulu budayanya. Tanpa dipungkiri hal itu sudah terjadi di Indonesia. Bahkan nilai-nilai dasar perjuangan bangsa ini yaitu Pancasila sudah mulai tergerus oleh paham modernisasi tersebut. Kearifan-kearifan lokal yang sebenarnya menjadi modal utama pembangunan negara ini serta menjungjung tinggi nilai-nilai budaya dan tradisional banyak yang ditinggalkan karena dianggap terbelakang. Untung saja kita masih mempunyai beberapa sekelompok orang di pedalaman Baduy, Dayak, Mentawai, dan pedalaman-pedalaman lainnya di Indonesia yang belum terpengaruh oleh paham modernisasi ini dan masih mempertahankan nilai-nilai yang dianutnya. Tetapi sayangnya suku-suku ini kadang dianggap penghalang bagi kemajuan bangsa ini.
Fenomena modernisasi ini diperkuat oleh berkembangnya paham materialistis. Paham ini masuk melalui sistem ekonomi kapitalis yang belakangan ini tengah menguasai sebagian besar dunia ini lewat pendekatan-pendekatan rasionalnya. Pendekatan rasional disini yang paling populer adalah “maximalisation utilty”, yaitu adanya keinginan manusia yang tidak terbatas. Pada paham ini manusia dituntut untuk terus mengejar keinginannya tanpa memikirkan aspek-aspek lain seperti lingkungan, sosial, dan lainnya. Manusia berhak menentukan takdirnya sendiri dan berdiri sebagai individual-individual bukan sebagai sosial. Dengan begitu agak sulit ketika membedakan mana kebutuhan dan mana keinginan manusia, yang mana ketika kebutuhan manusia itu terpenuhi, masih ada target keinginan lain yang harus dicapai oleh individu tersebut tanpa memikirkan terpenuhinya kebutuhan individu lain.
Apabila ditarik benang merah antara modernisasi dan materialisasi, ada sebuah titik temu yang menyebabkan keduanya saling mempengaruhi atau dalam hal ini saling memperkuat. Ketika nilai-nilai asli bangsa ini yang dikenal dengan nilai “ke-gotongroyong-annya”  harus tereduksi oleh kedua paham tersebut sehingga ruh bangsa ini harus hilang bahkan dalam aspek kebudayaan dan ekonominya. Padahal kedua aspek tersebut harusnya saling memperkuat satu sama lainnya bukan malah mereduksi antar keduanya. Ekonomi tanpa budaya tidaklah bernilai. Percuma saja pertumbuhan ekonomi melaju pesat tapi ketimpangan masih nyata terlihat dan semakin besar, hal itu bisa dilihat dengan rasio gini pada tahun 2011 yang mencapai angka 0,41. Rekor terbaru yang dicapai itu merupakan angka terbesar selama  pemerintahan Indonesia. Disinilah peran kebudayaan terlihat karena indikator-indikator ekonomi pada saat ini masih belum bisa menjelaskan kesejahteraan secara menyeluruh.
Itulah kenapa alasannya paham ekonomi pancasila-nya Indonesia masih berada pada tataran pemikiran semata, belum ada realisasinya. Tidakkah kita belajar dari Jepang yang dikenal dengan sistem ekonomi “Asian Ways” nya yang mana unsur kebudayaan memperkuat saling ekonomi begitupun sebaliknya. Kearifan-kearifan lokal yang ada seharusnya dijadikan sebuah rekontruksi kebijakan dalam membangun sebuah sistem bukannya malah terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran yang dirasa cemerlang tanpa menyesuaikan dengan rekontruksi masyarakat dan bangsa ini. Setiap hari pemikiran itu terakumulasi menjadi sebuah sistem yang kuat dan tanpa disadari semua individu yang ada di sistem ini telah menjadi korban. Itulah kenapa ketika masalah kemacetan, banjir, ketimpangan, bahkan kehilangan nilai-nilai yang sudah lama dipegang ini menjadi sebuah kewajaran. Sekarang tinggal memilih saja, apakah kita mau tetap menjadi korban dengan mengikuti paham mainstream yang ada? Atau mulai memahami nilai-nilai yang dikandung oleh Pancasila? Pilihan yang kedua tentunya sangat sulit, bukankah kita sekarang tengah menikmati posisi sebagai korban itu sendiri?


 Dituliskan oleh - Khoerul Imam Fatwani - Wasekum HMI Cabang Bogor.

1 komentar: