Mengacu pada titik awal perjuangan
bangsa Indonesia dalam mempertahankan kedaulatannya sampai pada sekarang yang
dikenal era reformasi, perubahan banyak terjadi pada setiap sisi kehidupan
bangsa Indonesia, mulai dari perubahan politik, ekonomi, sosial budaya dan lain
sebagainya. Pengaruh-pengaruh dari dalam serta dari luar merupakan faktor
pendukung perubahan tersebut. Hal tersebut dapat dikatakan sesuatu hal yang
wajar mengingat manusia ini adalah makhluk yang dinamis. Apalagi perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknlogi berkembang pesat pada abad 20 dan 21 ini menjadi
faktor perubahan. Perubahan-perubahan yang saya maksud disini adalah perubahan
nilai-nilai. Baik itu nilai-nilai ideologis, budaya, ekonomi, politik dan
nilai-nilai lain yang lazimnya menjadi ciri khas sebuah bangsa.
Indonesia adalah sebuah negara yang
heterogen, diakui sebagai negara yang kaya akan budaya selain kekayaan alamnya.
Apabila kita lihat budaya ini sebagai sebuah nilai, tentu masih banyak orang
yang tidak banyak tahu mengenai nilai budaya ini. Ironis memang, ketika bangsa
yang katanya “kaya budaya” ini harus kehilangan nilai-nilai atau saya katakan
bangsa ini “kehilangan ruh” nya. Sungguh tidak dapat dipungkiri adanya,
kerapuhan nilai ini terjadi karena adanya perubahan paradigma bangsa ini yang
cenderung terlalu bebas menerima dan menerapkan nilai-nilai dari luar. Salah
satunya adalah paradigma mengenai modernisasi.
Pembentukan paradigma modernisasi ini
masuk dari berbagai sisi kehidupan bangsa Indonesia. Paradigma ini membentuk
sebuah opini bahwa yang namanya pergerakan menuju modern adalah sebuah kemajuan
dan hal-hal yang bersifat tradisional ini dianggap sebagai sebuah
keterbelakangan. Memang kita bukanlah sebuah negara yang tertutup dan statis,
boleh saja kita terbuka dengan setiap perubahan tetapi tanpa meninggalkan
nilai-nilai yang kita anut dan sudah menjadi cri khas bangsa kita.
Ada pepatah atau idiom yang menyebutkan
bahwa kalau mau menghancurkan sebuah negara, hancurkan dulu budayanya. Tanpa
dipungkiri hal itu sudah terjadi di Indonesia. Bahkan nilai-nilai dasar
perjuangan bangsa ini yaitu Pancasila sudah mulai tergerus oleh paham
modernisasi tersebut. Kearifan-kearifan lokal yang sebenarnya menjadi modal
utama pembangunan negara ini serta menjungjung tinggi nilai-nilai budaya dan
tradisional banyak yang ditinggalkan karena dianggap terbelakang. Untung saja
kita masih mempunyai beberapa sekelompok orang di pedalaman Baduy, Dayak,
Mentawai, dan pedalaman-pedalaman lainnya di Indonesia yang belum terpengaruh oleh
paham modernisasi ini dan masih mempertahankan nilai-nilai yang dianutnya.
Tetapi sayangnya suku-suku ini kadang dianggap penghalang bagi kemajuan bangsa
ini.
Fenomena modernisasi ini diperkuat oleh
berkembangnya paham materialistis. Paham ini masuk melalui sistem ekonomi
kapitalis yang belakangan ini tengah menguasai sebagian besar dunia ini lewat
pendekatan-pendekatan rasionalnya. Pendekatan rasional disini yang paling
populer adalah “maximalisation utilty”, yaitu adanya keinginan manusia yang
tidak terbatas. Pada paham ini manusia dituntut untuk terus mengejar
keinginannya tanpa memikirkan aspek-aspek lain seperti lingkungan, sosial, dan
lainnya. Manusia berhak menentukan takdirnya sendiri dan berdiri sebagai
individual-individual bukan sebagai sosial. Dengan begitu agak sulit ketika
membedakan mana kebutuhan dan mana keinginan manusia, yang mana ketika
kebutuhan manusia itu terpenuhi, masih ada target keinginan lain yang harus
dicapai oleh individu tersebut tanpa memikirkan terpenuhinya kebutuhan individu
lain.
Apabila ditarik benang merah antara
modernisasi dan materialisasi, ada sebuah titik temu yang menyebabkan keduanya
saling mempengaruhi atau dalam hal ini saling memperkuat. Ketika nilai-nilai
asli bangsa ini yang dikenal dengan nilai “ke-gotongroyong-annya” harus tereduksi oleh kedua paham tersebut
sehingga ruh bangsa ini harus hilang bahkan dalam aspek kebudayaan dan
ekonominya. Padahal kedua aspek tersebut harusnya saling memperkuat satu sama
lainnya bukan malah mereduksi antar keduanya. Ekonomi tanpa budaya tidaklah
bernilai. Percuma saja pertumbuhan ekonomi melaju pesat tapi ketimpangan masih
nyata terlihat dan semakin besar, hal itu bisa dilihat dengan rasio gini pada
tahun 2011 yang mencapai angka 0,41. Rekor terbaru yang dicapai itu merupakan
angka terbesar selama pemerintahan
Indonesia. Disinilah peran kebudayaan terlihat karena indikator-indikator
ekonomi pada saat ini masih belum bisa menjelaskan kesejahteraan secara
menyeluruh.
Itulah kenapa alasannya paham ekonomi
pancasila-nya Indonesia masih berada pada tataran pemikiran semata, belum ada
realisasinya. Tidakkah kita belajar dari Jepang yang dikenal dengan sistem
ekonomi “Asian Ways” nya yang mana unsur kebudayaan memperkuat saling ekonomi
begitupun sebaliknya. Kearifan-kearifan lokal yang ada seharusnya dijadikan
sebuah rekontruksi kebijakan dalam membangun sebuah sistem bukannya malah
terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran yang dirasa cemerlang tanpa menyesuaikan
dengan rekontruksi masyarakat dan bangsa ini. Setiap hari pemikiran itu
terakumulasi menjadi sebuah sistem yang kuat dan tanpa disadari semua individu
yang ada di sistem ini telah menjadi korban. Itulah kenapa ketika masalah
kemacetan, banjir, ketimpangan, bahkan kehilangan nilai-nilai yang sudah lama
dipegang ini menjadi sebuah kewajaran. Sekarang tinggal memilih saja, apakah
kita mau tetap menjadi korban dengan mengikuti paham mainstream yang ada? Atau
mulai memahami nilai-nilai yang dikandung oleh Pancasila? Pilihan yang kedua
tentunya sangat sulit, bukankah kita sekarang tengah menikmati posisi sebagai
korban itu sendiri?
Dituliskan oleh - Khoerul Imam Fatwani - Wasekum HMI Cabang Bogor.
Mantaaapppppp, pergeseran budaya yah. Mengerikan.
BalasHapus