Rabu, 21 Mei 2014

KRITERIA PEMIMPIN BANGSA BAGI PEMBANGUNAN EKONOMI NASIONAL



Wakil rakyat seharusnya merakyat, jangan tidur waktu sidang soal rakyat. Wakil rakyat bukan paduan suara, hanya tau nyanyian lagu setuju. Begitulah salah satu petikan lagu dari seorang Iwan Fals yang peduli dengan negeri ini untuk mengingatkan wakil rakyat sebagai pemangku kebijakan yang harus pro rakyat.
Di tahun politik ini banyak dari masyarakat indonesia berharap akan mendapatkan calon pemimpin bangsa yang baru yang dapat membawa indonesia ke gerbang pembangunan ekonomi yang digambarkan dengan tingkat  kesejahteraan yang merata. Banyak dari kita berharap akan adanya  sosok pemimpin yang kuat untuk ketahanan, keamanan, dan kemajuan bangsa yang lebih baik.
Adapun permasalahan kemiskinan indonesia yang semakin meningkat di Indonesia merupakan topik hangat yang biasa diangkat untuk bahan pertimbangan bagi calon pemimpin selanjutnya. Perkembangan tingkat kemiskinan di indonesia dapat dilihat pada indeks kedalaman kemiskinan naik dari 1,75% (maret 2013) menjadi1,89%. Kemudian indeks  keparahan kemiskinan naik dari 0,43% (maret) menjadi 0,48%. Sementara nilai indeks keparahan kemiskinan untuk perkotaan hanya 0,37% sementara di daerah pedesaan sebesar 0,60%. Fenomena Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Indonesia pada Agustus 2013 mencapai 6,25% mengalami peningkatan dibanding TPT Februari 2013 sebesar 5,92% dan agustus 2012 sebesar 6,14%  (Sumber BPS). Hal ini merupakan tugas utama yang perlu diprioritaskan bagi sosok pemimpin selanjutnya.
Di periode 2020-2030 sebagai periode emas pertumbuhan ekonomi ketika diprediksi akan terjadinya bonus demografi di indonesia, dimana penduduk usia produktif di Indonesia akan membludak, hal ini akan menjadi kesempatan emas bagi indonesia untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional  jika saja Indonesia mampu membekali penduduk usia produktifnya dengan sarana pendidikan dan kesehatan yang memadai sehingga Indonesia memiliki kualitas sumber daya manusia yang berdaya saing tinggi tinggi di kancah global.
Perlunya pembangunan dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang harus menjadi topik utama bagi calon pemimpin dan pemerintahan selanjutnya guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. 
Diperlukannya sosok pemimpin yang  visioner dengan visi dan misi yang jelas bagi pembangunan bangsa indonesia dan kecerdasan dalam berdiplomasi untuk dapat bernegosiasi di kancah global dengan baik demi tercapainya ketahanan, keamanan, kesejahteraan dan keadilan sosial. Serta kecakapan dalam menyusun strategi pembangunan di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, ketahanan, dan keamanan serta tidak memihak suatu golongan dalam memutuskan suatu  kebijakan. 

Dituliskan oleh : Alfianisa Tongato - Kader Muda HMI Cabang Bogor, Komisariat FEM.

Jumat, 09 Mei 2014

MODERENISME DAN MATERIALISME



Mengacu pada titik awal perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kedaulatannya sampai pada sekarang yang dikenal era reformasi, perubahan banyak terjadi pada setiap sisi kehidupan bangsa Indonesia, mulai dari perubahan politik, ekonomi, sosial budaya dan lain sebagainya. Pengaruh-pengaruh dari dalam serta dari luar merupakan faktor pendukung perubahan tersebut. Hal tersebut dapat dikatakan sesuatu hal yang wajar mengingat manusia ini adalah makhluk yang dinamis. Apalagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknlogi berkembang pesat pada abad 20 dan 21 ini menjadi faktor perubahan. Perubahan-perubahan yang saya maksud disini adalah perubahan nilai-nilai. Baik itu nilai-nilai ideologis, budaya, ekonomi, politik dan nilai-nilai lain yang lazimnya menjadi ciri khas sebuah bangsa.
Indonesia adalah sebuah negara yang heterogen, diakui sebagai negara yang kaya akan budaya selain kekayaan alamnya. Apabila kita lihat budaya ini sebagai sebuah nilai, tentu masih banyak orang yang tidak banyak tahu mengenai nilai budaya ini. Ironis memang, ketika bangsa yang katanya “kaya budaya” ini harus kehilangan nilai-nilai atau saya katakan bangsa ini “kehilangan ruh” nya. Sungguh tidak dapat dipungkiri adanya, kerapuhan nilai ini terjadi karena adanya perubahan paradigma bangsa ini yang cenderung terlalu bebas menerima dan menerapkan nilai-nilai dari luar. Salah satunya adalah paradigma mengenai modernisasi.
Pembentukan paradigma modernisasi ini masuk dari berbagai sisi kehidupan bangsa Indonesia. Paradigma ini membentuk sebuah opini bahwa yang namanya pergerakan menuju modern adalah sebuah kemajuan dan hal-hal yang bersifat tradisional ini dianggap sebagai sebuah keterbelakangan. Memang kita bukanlah sebuah negara yang tertutup dan statis, boleh saja kita terbuka dengan setiap perubahan tetapi tanpa meninggalkan nilai-nilai yang kita anut dan sudah menjadi cri khas bangsa kita.
Ada pepatah atau idiom yang menyebutkan bahwa kalau mau menghancurkan sebuah negara, hancurkan dulu budayanya. Tanpa dipungkiri hal itu sudah terjadi di Indonesia. Bahkan nilai-nilai dasar perjuangan bangsa ini yaitu Pancasila sudah mulai tergerus oleh paham modernisasi tersebut. Kearifan-kearifan lokal yang sebenarnya menjadi modal utama pembangunan negara ini serta menjungjung tinggi nilai-nilai budaya dan tradisional banyak yang ditinggalkan karena dianggap terbelakang. Untung saja kita masih mempunyai beberapa sekelompok orang di pedalaman Baduy, Dayak, Mentawai, dan pedalaman-pedalaman lainnya di Indonesia yang belum terpengaruh oleh paham modernisasi ini dan masih mempertahankan nilai-nilai yang dianutnya. Tetapi sayangnya suku-suku ini kadang dianggap penghalang bagi kemajuan bangsa ini.
Fenomena modernisasi ini diperkuat oleh berkembangnya paham materialistis. Paham ini masuk melalui sistem ekonomi kapitalis yang belakangan ini tengah menguasai sebagian besar dunia ini lewat pendekatan-pendekatan rasionalnya. Pendekatan rasional disini yang paling populer adalah “maximalisation utilty”, yaitu adanya keinginan manusia yang tidak terbatas. Pada paham ini manusia dituntut untuk terus mengejar keinginannya tanpa memikirkan aspek-aspek lain seperti lingkungan, sosial, dan lainnya. Manusia berhak menentukan takdirnya sendiri dan berdiri sebagai individual-individual bukan sebagai sosial. Dengan begitu agak sulit ketika membedakan mana kebutuhan dan mana keinginan manusia, yang mana ketika kebutuhan manusia itu terpenuhi, masih ada target keinginan lain yang harus dicapai oleh individu tersebut tanpa memikirkan terpenuhinya kebutuhan individu lain.
Apabila ditarik benang merah antara modernisasi dan materialisasi, ada sebuah titik temu yang menyebabkan keduanya saling mempengaruhi atau dalam hal ini saling memperkuat. Ketika nilai-nilai asli bangsa ini yang dikenal dengan nilai “ke-gotongroyong-annya”  harus tereduksi oleh kedua paham tersebut sehingga ruh bangsa ini harus hilang bahkan dalam aspek kebudayaan dan ekonominya. Padahal kedua aspek tersebut harusnya saling memperkuat satu sama lainnya bukan malah mereduksi antar keduanya. Ekonomi tanpa budaya tidaklah bernilai. Percuma saja pertumbuhan ekonomi melaju pesat tapi ketimpangan masih nyata terlihat dan semakin besar, hal itu bisa dilihat dengan rasio gini pada tahun 2011 yang mencapai angka 0,41. Rekor terbaru yang dicapai itu merupakan angka terbesar selama  pemerintahan Indonesia. Disinilah peran kebudayaan terlihat karena indikator-indikator ekonomi pada saat ini masih belum bisa menjelaskan kesejahteraan secara menyeluruh.
Itulah kenapa alasannya paham ekonomi pancasila-nya Indonesia masih berada pada tataran pemikiran semata, belum ada realisasinya. Tidakkah kita belajar dari Jepang yang dikenal dengan sistem ekonomi “Asian Ways” nya yang mana unsur kebudayaan memperkuat saling ekonomi begitupun sebaliknya. Kearifan-kearifan lokal yang ada seharusnya dijadikan sebuah rekontruksi kebijakan dalam membangun sebuah sistem bukannya malah terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran yang dirasa cemerlang tanpa menyesuaikan dengan rekontruksi masyarakat dan bangsa ini. Setiap hari pemikiran itu terakumulasi menjadi sebuah sistem yang kuat dan tanpa disadari semua individu yang ada di sistem ini telah menjadi korban. Itulah kenapa ketika masalah kemacetan, banjir, ketimpangan, bahkan kehilangan nilai-nilai yang sudah lama dipegang ini menjadi sebuah kewajaran. Sekarang tinggal memilih saja, apakah kita mau tetap menjadi korban dengan mengikuti paham mainstream yang ada? Atau mulai memahami nilai-nilai yang dikandung oleh Pancasila? Pilihan yang kedua tentunya sangat sulit, bukankah kita sekarang tengah menikmati posisi sebagai korban itu sendiri?


 Dituliskan oleh - Khoerul Imam Fatwani - Wasekum HMI Cabang Bogor.

Jumat, 14 Maret 2014

Fenomena Joko Widodo



   

     Beberapa waktu lalu, saya sempat melihat pemberitaan isu yang semakin hangat bahwa Joko Widodo atau yang lebih akrab di sapa Jokowi yaitu Gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017 akan mengajukan diri sebagai calon Presiden RI di Pemilu tahun 2014. Dalam hati saya berkata, “ah, mana mungkin Jokowi berani sampai seperti itu”. Saya tidak hanya asal dalam menerka, karena beberapa waktu lalu saya sempat melihat video kampanye Jokowi-Ahok di Youtube.com sewaktu mencalonkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, dengan judul “Kami Pegang Janji Jokowi”. Salah satu momen di video tersebut terlihat Jokowi berkata “Jowoki dan Basuki (ahok) komit untuk memperbaiki DKI Jakarta lima tahun”. Terlihat janji-janji manis yang diucapkan oleh pemimpin blusukan ini, yang mana berjanji akan memperbaiki permasalahan yang ada di DKI Jakarta.

     Janji tinggalah janji, ternyata pemimpin perubahan ini tidak berbeda halnya dengan para pria Playboy yang suka mengumbar janji manis kepada lawan jenisnya, agar tertarik menjadi wanitanya atau pasangannya. Pada hari Jum’at, tanggal 14 Maret 2014 di Rumah Si Pitung, Rusun Marunda Jakarta, Jokowi mendeklarasikan pen-capres-annya yang diusung partai Banteng Merah yaitu PDIP. Diumur yang belum genap 2 tahun dalam memimpin DKI Jakarta, Jokowi mengingkari janji yang pernah dikatakannya di depan masyarakat banyak.

     “Aneh” mungkin satu kata yang terlintas di benak saya kali ini. Mungkin benar, di Politik 1 + 1 tidak selalu 2 hasilnya, bisa 3, 4,5,6,7,8,...... tidak terhingga, begitu lah kata orang-orang politik. Saya tidak bermaksud untuk menjelekkan Jokowi atau sebagainya. Saya kagum dengan beliau, saya bangga melihat sosok beliau dan saya sangat menghormati keputusan beliau. Hanya saja, saya “sedikit” kecewa dengan keputusan beliau, yang terkesan tidak amanah, dan bahkan terkesan mundur dari tanggung jawabnya. 

     Banyak pro dan kontra yang terjadi ketika pencapresan Jokowi, seperti curiga-nya beberapa kalangan masyarakat dan beberapa tokoh politik. Ketika Jokowi mendeklarasikan pencapresannya, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Indonesia mengalami peningkatan drastis yang sebelumnya -1 poin (minus) menjadi 3 poin (plus). Harga rupiah yang terapresiasi dari 11.400-an menjadi 11.200-an. Sejarah Indonesia mencatat baru pertama kalinya pendeklarasian capres dapat mempengaruhi IHSG dan kurs. Seperti ada intervensi yang besar dari pihak asing yang mem-backing pemimpin rakyat Jakarta ini. Semoga saja itu hanya fenomena yang kebetulan saja terjadi, karena bagaimanapun setiap publik figur akan selalu menghasilkan pro dan kontra dalam hal apapun yang dilakukan tidak terkecuali Jokowi.

     Mungkin Jokowi tidak buta ketika melakukan blusukan ke kampung-kampung kumuh di jakarta, melihat masyarakat miskin di bantaran kali maupun di kolong jembatan yang tersenyum bahagia ketika melihat Gubernur Idamannya datang dan berbincang-bincang dan sesekali menyalaminya. Mungkin Jokowi tidak tuli ketika mendengar aspirasi masyarakat Ibu Kota yang haus akan perubahan. Sepertinya, Jokowi hanya lupa untuk mengingat apa saja yang telah beliau janjikan kepada masyarakat DKI Jakarta.

     Saya yang hanya seorang Mahasiswa, mungkin tidak sehebat bapak, tidak sepintar bapak, saya hanya bisa mengkritiki bapak dan mungkin tanpa solusi yang berarti. Akan tetapi di dalam hati saya yang paling dalam, saya menaruh harapan kepada bapak Jokowi akan perubahan yang akan bapak berikan untuk DKI Jakarta. Sekarang harapan saya sudah hilang, bapak lebih memilih mengikuti mandat partai bapak dari pada memilih suara masyarakat DKI Jakarta. Sekarang silahkan bapak siapkan apa saja “janji” yang akan bapak berikan untuk Ibu Pertiwi ini, untuk Pemilu 2014. Yang bisa saya lakukan saat ini hanya berdo’a yang terbaik untuk bapak, DKI Jakarta dan tentunya Indonesia. Salam Hormat.

Dituliskan oleh Luqman Azis - 

Selasa, 04 Maret 2014

Otonomi Pancasila Kabupaten Bogor



Sebelum terjadinya reformasi, tepatnya pada era orde baru sistem pemerintahan di Indonesia bersifat sentralisitik (sentralisasi). Dalam  sistem pemerintahan yang bersifat sentralisasi pengaturan pemerintahan berada di pemerintah pusat, sedangkan pemerintah daerah hanya bertindak sebagai eksekutor dalam perencanaan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Dampak dalam sistem pemerintahan ini, berujung pada ketidakmerataan pembangunan yang terjadi di pusat dan di daerah. Hal ini lah penyebab terjadinya dorongan yang sangat kuat dari berbagai pihak agar dibentuknya peraturan tentang otonomi daerah.

Otonomi daerah menjadi sebuah tuntutan dalam perjalanan reformasi di Indonesia. Kurang lebih satu tahun setelah terjadinya reformasi tepatnya pada tahun 1999, para anggota dewan di senayan mengetuk palu atas pengajuan draf  Undang-undang No. 22 tahun 1999 (tentang pemerintah daerah) dan Undang-undang No. 25 tahun 1999 (tentang perimbangan keuangan). Selanjutnya, berdasarkan pertimbangan yang mengacu pada Pancasila (sebagai dasar negara) maka UU No. 22 tahun 1999 diganti menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah.

Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia mengambarkan kondisi dan visi negara. Dimana, keberagaman yang dimiliki menjadi modal penting untuk mencapai kesejahteraan bersama tanpa terkecuali masyarakat yang miskin. Hal ini lah yang menjadi track dalam perjalanan otonomi daerah di negeri ini. Akan tetapi sangat disayangkan jika dalam perjalanan otnomi daerah, pengembangan potensi-potensi daerah hanya dapat dinikmati oleh beberapa golongan saja.

Kabupaten Bogor merupakan daerah yang memiliki tanah yang subur, tidak heran jika daerah ini mengandalkan sektor pertanian sebagai salah satu penopang perekonomian bagi masyarakatnya. Pada tahun 2013 terdapat 50.756  rumah tangga petani yang menggantungkan hidup di sektor pertanian. Jumlah ini sangat kecil jika dibandingkan tahun 2006 (sebelum undang-undang otonomi daerah diberlakukan) yaitu sebesar 255.224 RTP (BPS Kab. Bogor).

Jumlah RTP di Kabupaten Bogor yang berkurang disebabkan banyaknya petani yang beralih ke sektor lain. Kebanyakan lahan yang dikelola petani tersebut beralih fungsi dari lahan pertanian menjadi lahan industri dan jasa yang dibangun untuk kpentingan pemodal-pemodal besar. Berdasarkan data statistik luas lahan pertanian di daerah ini pada tahun 2010 sebesar 48. 484 hektare. Akan tetapi luas tersebut lebih kecil dibandingkan luas lahan pertanian Kabupaten Bogor pada tahun 2006 yaitu sebesar 65.000 hektar (BPS Kab. Bogor). Keseriusan pemerintah daerah menjadi ‘kunci’ pembangunan pertanian di daerah ini.

Alokasi pembangunan untuk sektor pertanian di Kabupaten Bogor sangatlah kecil. Dalam Rancangan Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Kabupaten Bogor, dana yang dialokasikan untuk pertanian dan kehutanan hanya sebesar Rp. 45.702.645.000. Jumlah ini sangat kecil jika dibandingkan dengan total RKPD 2013 yang mencapai Rp. 2.531.237.850.119 atau hanya kekitar 1,8 persen. Menjadi hal wajar ketika para petani-petani kecil yang mempunyai modal kecil relatif sulit untuk mencapai ‘kata sejahtera’.

Menurut Sahara (Dosen Ilmu Ekonomi Institut Pertanian Bogor) dalam acara Hipotex-R 2013 menyatakan bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang penting dalam pembangunan perekonomian Indonesia. Karena pada sektor pertanian dapat menimbulkan multiplier effects (pemacu timbulnya kegiatan perekonomian lain) yang lebih besar dibandingkan sektor lainnya termasuk industri manufaktur. Multiplier effects pada sektor pertanian akan memacu tumbuknya kegiatan ekonomi di sektor lain. Seluruh masyarakat akan merasakan efek dari kegiatan perekonomian dibidang pertanian, baik itu masyarakat yang bermodal kecil maupun masyarakat bermodal besal. Beberapa sektor yang timbul dari kegiatan perekonomian ini, diantaranya industri pengolahan bahan pertanian, industri pengangkutan, UKM, pariwisata, dll.

Begitu banyak keuntungan yang akan didapatkan Kabupaten Bogor jika pemerintah daerah (pemda)berfokus untuk mengembangkan sektor pertanian.  Sangat disayangkan jika pemda  tetap enggan membangun pertanian sebagai ‘motor’ utama dalam perekonomianan wilayahnya. Pemda Kabupaten Bogor hanya  berfokus pada pembangunan infrastruktur jalan raya yang sebagian besar digunakan oleh mobil-mobil masyarakat yang kaya truk-truk industri manufaktur. Sedangkan hampir tidak terlihat pembangunan infrastruktur pertanian misalnya irigasi dan aduk untuk lahan pertanian. Hanya kelompok-kelompok pemodal besar dan orang kaya lah yang dapat menikmati keuntungan dari pembangunan ini. Sedangkan kelompok masyarakat kecil akan terus berputar otak untuk mencapai kesejahteraannya.

Pada akhirnya, otonomi yang dibentuk oleh wakil rakyat Indonesia semakin jauh dari koridor Pancasila.



Ditulis Oleh: Pangrio Nurjaya


Sumber-Sumber Terkait :

·         RKPD-Kabupaten Bogor 2013
·         http://m.poskotanews.com
·         http://bandungnewsphoto.com
·         http://psp3.ipb.ac.id