Berbicara tentang ketahanan nasional
tidak terlepas dari ketahanan pangan negara tersebut, memiliki kekuatan
diplomasi, militer yang kuat belum tentu merupakan indikator negara tersebut
memiliki ketahanan nasional yang kuat, kata-kata yang terucap dari sang
proklamator kita yaitu, Ir. Sukarno “ HIDUP MATI SUATU BANGSA DITENTUKAN OLEH
KEKUATAN PANGAN BANGSA ITU SENDIRI”. Oleh karena itu saya selaku penulis
tertarik untuk menuangkan ide tentang ketahanan nasional yang didasari oleh
ketahanan pangan negara tersebut.
Jargon Indonesia sebagai negara agraris
selalu bergema di telinga anak-anak negeri. Oleh karena, itu tidak heran banyak
anak Indonesia yang hingga kini dengan tegas mengatakan bahwa negeri zamrud
khatulistiwa ini adalah negara yang makmur karena kemajuan pertaniannya.
Indonesia adalah negeri agraris dengan kekayaan alam melimpah, termasuk dalam
hal ini adalah tanaman pangan. Namun, masih terdapat kalangan masyarakat yang
belum terpenuhi kebutuhan pangannya yaitu tiga belas persen masyarakat miskin atau
sekitar 30 juta masyarakat yang tergolong rawan ketahanan pangan. Perlu
diketahui bersama bahwa kondisi ketahanan pangan bersifat dinamis dan
berkembang sehingga permasalahan yang dihadapi juga sangat kompleks, seperti
penyediaan pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan yang terus
meningkat seiring dengan pertumbuhan
penduduk, pemenuhan tuntutan kualitas dan keanekaragaman bahan pangan untuk
memenuhi kebutuhan gizi, efektifitas pendistribusian bahan pangan, dan
keterjangkauan pangan (food accessibility).
Sektor pertanian mempunyai peran yang
strategis dalam pembangunan nasional. Menurut data Badan Pusat Statistik Tahun
2010 sektor ini menyerap 40.491.257 (38,35%) tenaga kerja nasional dan sebanyak
14.081.620 (34,78%) orang merupakan Generasi Muda Pertanian atau tenaga kerja
kelompok umur 15-34 tahun. Potensi tenaga kerja pada kelompok umur yang
tergolong muda ini juga dikategorikan sebagai Generasi Muda Pertanian yang
memiliki kedudukan strategis untuk dikembangkan kapasitasnya, sehingga dapat berfungsi
sebagai pengungkit yang menentukan keberhasilan pembangunan nasional khususnya
pembangunan pertanian. Sektor pertanian juga berfungsi sebagai penyangga
ketahanan nasional baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun keamanan.
Selanjutnya data statistik diatas menunjukkan bahwa penyerapan tenaga kerja
sektor pertanian tidak sebanding dengan produk domestik bruto (PDB) yang
disumbangkan sebesar 14,04 %. Kondisi ini berbeda dengan sektor lain dengan
tingkat penyerapan tenaga kerja yang lebih rendah menyumbang PDB yang lebih
besar. Sektor industri menyerap tenaga kerja 12,78% menyumbang PDB 25,39%, dan
sektor jasa menyerap tenaga kerja 14,75% menyumbang PDB 9,24%. Kondisi demikian
mencerminkan produktivitas tenaga kerja di bidang pertanian tergolong rendah.
Produktivitas yang rendah ini dipengaruhi banyak faktor antara lain tingkat
pendidikan, penguasaan teknologi, ketersediaan sarana dan prasarana, akses
pasar dan permodalan. Generasi Muda
Pertanian sebagai aset insani perlu mendapat prioritas dalam penyusunan
perencanaan program pembangunan pertanian supaya menjadi generasi penerus,
penggerak dan pelopor yang inovatif, kreatif, profesional, mandiri, mampu
bersaing, dan berwawasan global serta mempersiapkan kapasitas generasi muda
dalam menyambut komunitas ekonomi asean 2015.
Indonesia dikaruniai begitu banyak
sumberdaya alam, tanah yang subur dengan keaneragaman hayati yang tinggi. Orang
bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman, begitu lirik
dalam lagu "Kolam Susu" Koes Plus, grup band asal Tuban. Tapi
akhir-akhir ini kita dikejutkan dengan kasus impor beras vietnam, kasus impor
apel China, dan impor garam. Aneh bin ajaib, negeri se-kaya ini, negeri sesubur
ini masih melakukan impor pangan, yang notabene bisa dihasilkan sendiri didalam
negeri. Pemerintah memang tidak tinggal diam, dengan membuat UU No 18 Tahun
2012 tentang Pangan, yang didalamnya terdapat konsep ketahanan pangan. UU no 18
tahun 2012 bab 1 pasal 1 point ke-4 definisi Ketahanan Pangan adalah kondisi
terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari
tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam,
bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama,
keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif
secara berkelanjutan. Yang perlu digarisbawahi disini adalah "KONDISI
TERPENUHINYA" jika kita berpikir kritis, yang dimaksud kondisi
terpenuhinya itu yang bagaimana ? dengan produksi sendiri kah atau dengan cara
yang praktis yaitu impor ?
Hasil survey petani 2013 mendapatkan data bahwa selama 2003-2013 terjadi penurunan jumlah keluarga petani sebesar 5 juta jiwa. Pemerintah telah mencatat bahwa telah terjadikonversi lahan pangan sebesar
100.000 Ha tiap tahunnya, hal ini tidak seimbang dengan program pemerintah untuk pencetakan sawah setiap tahun 50.000
Ha. Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai instansi terkait, mencatat impor yang tidak sedikit jumlahnya.Secara
volume (Januari-Oktober), impor pangan mencapai 15,4juta ton atau setara dengan US$
7,73 miliar. Jenis pangannya pun sangat beragam. Mulai dari singkong, cabai, kopi, susu, bawang, tepung terigu,
kedelai hingga beras (detik Finance). Tentunya menjadi semakin miris Karena pangan ini bias diproduksi di
dalam negeri. UU No 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan
pun tidak berkutik mengatasi laju konversi lahan pangan. Pada UU No 18 Tahun 2012 bab IV pasal 14 point 1 terdapat syarat penting bahwa Sumber penyediaan Pangan berasal dari Produksi Pangan dalam negeri dan Cadangan Pangan Nasional.
Dalam hal sumber penyediaan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum mencukupi, Pangan dapat dipenuhi dengan Impor Pangan sesuai dengan kebutuhan. Lalu Bagaimana kita mewujudkan
"KETAHANAN PANGAN" dengan konsep memproduksi sendiri, bila pemerintah tidak serius menangani permasalahan konversi lahan,
kurangnya jumlah petani, maraknya impor pangan yang telah terjadi. Menurut UU No. 18 tahun
2012 bab 1 pasal 1 point ke-4 definisi Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi Negara sampai dengan perseorangan,
yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama,
keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan".
Solusi yang ditawarkan penulis kepada pemerintah adalah menegakkan dan menjalankan amanat UU
Pokok Agraria No 5 Tahun 1960, UU No 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan,
UU No 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan
Petani. Dan perlu di ingat bahwa Pemerintah memiliki Generasi Muda Pertanian sebanyak 14.081.620 (34,78%) dengan rentang 15-34 tahun
(BPS 2010). Sebuah potensi yang besar dan sangat perludi perhatikan dan dikembangkan kapasitasnya. Karena merekalah adalah penerus dan pemberi makan bangsa kita nanti.
Dituliskan oleh : Tri Arifin Darsono - Ketua Bidang PTKP Komisariat FEM HMI Cabang Bogor