Saat datang ke kantor Yahoo Indonesia pada Januari 2014
lalu, capres Konvensi Partai Demokrat Gita Wirjawan mengatakan bahwa dalam
upayanya menjadi seorang capres, “Pekerjaan saya adalah menjual tesis, narasi.
Semuanya tentang narasi. Ada penjual, ada pembeli.”
Meski Partai Demokrat kemudian tak bisa mengajukan capres
sendiri, dan impian Gita Wirjawan untuk menjadi capres harus gugur, ada sesuatu
yang penting muncul dari jawabannya tentang menjual narasi tersebut. Politik,
terutama pemilihan presiden, adalah soal menjual narasi ketokohan si capres.
Tentu semua sudah tahu itu, tapi, entah karena terlalu jujur atau naif, dari
Gita-lah kita mendapat jawaban gamblang akan sesuatu yang tak mau diakui secara
terbuka oleh capres lain. Bahwa ada proses manipulasi citra yang terjadi di
belakang layar.
Dalam kurang lebih 50 hari ke depan, kita akan melihat
narasi ketokohan seperti apa yang dijual masing-masing capres, dan pada
akhirnya, menentukan seberapa meyakinkan mereka menjual narasi tersebut ke
calon pemilih. Baik Jokowi maupun Prabowo akan menegaskan bahwa narasi
ketokohan yang mereka jual itu benar adalah diri mereka sehari-hari, bahwa
mereka adalah sosok yang asli, genuine, autentik. Dan dalam upaya menunjukkan
autentisitas diri, tampaknya Jokowi punya keunggulan karena kisah hidupnya yang
relatif tak diketahui.
Mari kita bandingkan.
Sebelum Prabowo suka memakai pakaian safari seperti
Soekarno, bahkan menggunakan mic khusus yang membuat dia seperti pria dikirim
oleh mesin waktu langsung dari dari era Kemerdekaan Indonesia, ia adalah anak
dari Begawan Ekonomi Indonesia, Sumitro Djojohadikusumo. Julukan Begawan
Ekonomi tak melebih-lebihkan semua pencapaian Sumitro. Ia sudah menjadi Dekan
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada usia 34, menjadi Menteri
Perdagangan dan Perindustrian pada usia 33. Sebagai dekan FE-UI, ia berperan
dalam mendidik orang-orang yang kemudian menentukan dan mengambil keputusan
penting dalam ekonomi Indonesia.
Singkatnya, dialah yang meletakkan fondasi dan menentukah
arah sistem ekonomi Indonesia modern. Ayah Sumitro, Margono Djojohadikusumo
bahkan menjadi pendiri, pembentuk, dan Direktur Utama Bank Negeri Indonesia
(BNI). Pada masa kuliahnya di Universitas Sorbonne, Paris, Sumitro dikabarkan
berinteraksi dengan filsuf pemenang Nobel Henri Bergson, fotografer yang kemudian
dikenal sebagai Bapak Jurnalisme Foto Henri Cartier-Bresson, dan pemimpin dunia
Jawaharlal Nehru. Dengan sosok ayah yang terhubung ke lingkaran pergaulan
intelektual dunia seperti inilah Prabowo tumbuh besar dan terbentuk.
Prabowo sendiri bukannya tak punya pergaulan kelas dunia.
Raja Yordania, Abdullah II, adalah salah satu sahabatnya. Saat sang raja datang
ke Jakarta pada akhir Februari lalu, ia lebih dulu menemui Prabowo daripada
menemui kepala negara sekaligus kepala pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono.
Dalam situs Gerindra Sulawesi Selatan, kedekatan Prabowo dan
Raja Abdullah II dibahas lebih jauh.
“Kisah persahabatan Prabowo dan Abdullah dituangkan dalam
buku berjudul “Prabowo: Dari Cijantung Bergerak ke Istana”. Dalam salah satu
bab, dikatakan bahwa Yordania adalah negara kedua bagi Prabowo, terutama
setelah kisruh 1998 pecah. Saat itu, Abdullah yang masih menjadi pangeran
menawari Prabowo untuk tinggal sementara di negaranya. Prabowo disambut hangat
oleh Abdullah. Bahkan Prabowo sempat diundang ke markas tentara Yordania Dia
tiba dengan pakaian kasual, namun disambut secara militer. “Di sini Anda tetap
Jenderal,” kata Abdullah sambil memeluk Prabowo. Bahkan, Abdullah II yang saat
itu memimpin Komando Pasukan Khusus Kerajaan Yordania memaksa Prabowo
menginspeksi pasukannya. Sejak saat itu, Prabowo mengaku jatuh cinta dengan
Yordania.” Bukan hanya persahabatannya kini, sosok Prabowo dulu juga tak lepas
dari keterkaitannya dengan salah satu (atau malah satu-satunya) keluarga paling
berkuasa di Indonesia. Kiprah Prabowo sendiri di Kopassus (dan akhirnya yang
tak menyenangkan buat dia) sudah banyak dibahas media.
Meski dengan kegagalannya, kehidupan Prabowo, baik dari sisi
didikan keluarga, lingkungan sosial, status pernikahannya (dulu), membuat dia
dekat dan menjadi bagian dari kekuasaan. Maka wajar saja jika di rumahnya di
Sentul, Bogor, Jawa Barat, dia punya pendopo seperti layaknya keraton raja-raja
Jawa. Dalam wawancara dengan Financial Times pada Juni 2013 lalu, Prabowo
bahkan disebut bisa melacak garis keturunannya sampai sultan-sultan Mataram,
penguasa Jawa terakhir sebelum jatuh ke kekuasaan East India Company milik
Belanda pada abad 18. Maka, posisi presiden, atau ‘raja’, buat Prabowo bukanlah
lompatan yang fantastis karena orang-orang yang dekat dengan dia (pernah)
berada di posisi tersebut. Buat Prabowo, punya kuda-kuda berharga miliaran, punya
pendopo, menjadi penguasa bukanlah ilusi atau fantasi akan kebesaran (grandeur)
tapi sekadar memenuhi takdirnya.
Sekarang mari kita lihat Jokowi.
Sosoknya pertama muncul di media sebagai Wali Kota Solo yang
berhasil memindahkan PKL ke lokasi baru dengan cara tidak biasa, mengajak
mereka makan bersama untuk membujuk sampai akhirnya mau pindah. Berbeda dengan
cara-cara pemimpin daerah lainnya yang memindahkan PKL dengan cara penggusuran
paksa. Dalam esai ini, ada lima tip yang bisa ditiru calon pemimpin daerah
untuk menjadi Jokowi berikutnya, (1)bertarunglah di pilkada, (2)utamakan
bertarung di daerah-daerah atau kota-kota besar yang populer dan dekat dengan
media, (3)menangkan pilkada itu, (4)bekerjalah dengan sebaik-baiknya dan
tunjukkan perubahan yang berarti dan kasat mata, (5) sedari awal begitu
terpilih langsung rancang tim komunikasi yang terus menerus mengkampanyekan
gerak-gerik dan perubahan-perubahan yang sudah dilakukan dengan cara yang
cantik, cerdik, dan sadar media.
Poin lima inilah yang terpenting dalam membentuk dan menjaga
konsistensi narasi seorang tokoh. Selama ini, Jokowi selalu dicitrakan sebagai
seorang yang sederhana, tidak neko-neko, apa adanya, polos, dan lugu. Namun,
dalam wawancara dengan Yahoo Indonesia pada Februari 2012 lalu, Jokowi sekilas
memberi gambaran akan sosoknya yang sebenarnya.
Wawancara itu dilakukan menjelang pemilihan Gubernur DKI
Jakarta. Jokowi pun ditanya, apakah ia berminat untuk mencalonkan diri jadi
gubernur ibu kota? Saat itu, pencalonannya sebagai gubernur baru wacana dan
harapan semata. Belum ada sosok atau tokoh atau petinggi parpol yang menganggap
ide itu serius. Jokowi menjawab, “Dalam setiap keputusan harus ada kalkulasi
matang. Semua harus dihitung detil, data harus dikuasai benar, lapangannya dikuasai
benar. Sehingga saat memutuskan, "Ya, saya maju", saya bukan maju
untuk kalah. Kerja harus seperti itu, maju ya untuk menang.” Saat wawancara. ia
mengaku belum menghitung kemungkinannya. Namun saat ditanya tentang dukungan
yang terus mengalir, dia bilang, “Kalau nanti PDIP menugaskan, hmm... Saya akan
kalkulasi kemungkinannya, tetap harus ngukur. Maju harus untuk menang.”
Jawaban-jawaban ini bisa kita terima dari permukaan saja,
bahwa memang segalanya harus diperhitungkan, namun kita mendapat gambaran akan
seorang Jokowi yang sebenarnya sangat berhati-hati dan kalkulatif dalam
berhitung untung rugi tindakannya. Jauh dari kesan sederhana, polos, dan apa
adanya. Dia adalah seorang penghitung dan penganalisis risiko meski menampilkan
kesan seseorang yang sederhana.
Dalam analisisnya akan bintang pop Lorde, akademisi Anne
Helen Petersen menyebut bahwa setiap selebritas punya dua komponen utama dalam
pembentukan citra, yaitu produk (atau sosok si seleb sendiri) dan pencitraan
yang dibangun di sekitar si seleb, yang biasanya dikenal sebagai publisitas.
Dalam kasus Lorde, dia menjadi bintang pop yang berbeda dari
Justin Bieber atau Selena Gomez atau Taylor Swift karena yang dia lakukan
dengan menjadi tidak sempurna dengan menunjukkan hasil Photoshop majalah akan
jerawat di wajahnya, dengan bicara apa adanya dan berani mengritik bintang
lain, adalah dirinya yang sebenarnya, bukan hasil manipulasi pencitraan tim
komunikasi.
Namun, yang tak disadari, dan yang kemudian disoroti oleh
Petersen, bahwa ketiadaan pencitraan, yang seolah-olah spontan, wajar, dan
tidak neko-neko, sendirinya adalah sebuah citra. Jokowi (dan timnya) cukup tahu
bahwa ada stereotipe yang muncul di masyarakat akan pejabat di Indonesia—bahwa
mereka manja, selalu mau dilayani, ingin enaknya saja, dan diutamakan. Maka,
muncul berita-berita dan foto penumpang yang naik satu pesawat ekonomi dengan
Jokowi. Ia naik pesawat tanpa pengawalan istimewa dan membawa kopernya sendiri.
Masalahnya, menurut Petersen, autentisitas seorang
selebritas sebenarnya hanyalah ilusi, atau produk
buatan juga. Bertemu seorang
selebritas (atau capres) secara langsung (atau di pesawat ekonomi) awalnya
disebut sebagai satu-satunya cara melihat selebritas itu sebenarnya seperti apa
saat jadi orang biasa. Tapi tentu selebritas itu tahu, bahwa dia punya citra
yang harus dijaga, maka “mereka tidak langsung akan menjadi diri mereka
sebenarnya hanya ketika Anda berada satu lift dengan mereka.”
Mungkin memang Gubernur DKI dan capres PDIP ini sering naik
pesawat sendiri, namun dengan kemampuan kalkulasi Jokowi, tentu kita bisa (dan
harus) bertanya, apakah itu memang dirinya yang sebenarnya—sederhana, apa
adanya—atau dia dan timnya tahu bagaimana membangun citra sederhana dengan cara
yang sangat halus?
Dalam wawancara dengan Yahoo Indonesia, Jokowi tak
memunculkan kata itu, tapi dia menegaskan bahwa dia tak punya potongan untuk
jadi pemimpin. “Waktu baru 6 bulan jadi walikota, saya memilih ajudan yang
secara performa ganteng dan bagus. Eh malah kalau ada tamu, yang disalamin dia
dulu. (tertawa) Malah dia yang dikira walikota, saya nggak. Artinya saya nggak
punya potongan jadi walikota, apalagi jadi gubernur.”
Tak sulit membayangkan Jokowi akan menjawab seperti ini juga
jika ditanya, apakah ia berminat jadi presiden. Buktinya, pada berita Januari
2012 ini, ia menjawab, jangankan jadi calon presiden, jadi walikota saja dia
tak punya potongan. Cocoknya cuma jadi Ketua RT. Seolah dia tak punya ambisi
kekuasaan jika dibandingkan dengan sosok lain yang begitu ngotot jadi presiden
seperti Aburizal Bakrie. Ada satu kata yang sering diucapkan Jokowi untuk
menegaskan posisinya sebagai kebalikan dari kebanyakan tokoh politik atau
capres di Indonesia, yaitu ‘ndeso’.
Narasi ‘ndeso’ itu ia tegaskan lagi saat tampil kampanye di
Lampung pada Maret 2014. “Saya itu enggak punya duit, ndeso, miskin koneksi
pusat,” kata Jokowi. Beberapa hari kemudian, di Banten, dia menggunakan lagi
kata itu, “"Wajah saya capek nggak? Wajah ndeso nggak? Ya nggak apa-apa
wajah ndeso. Tapi nanti...," ujarnya tanpa melanjutkan perkataannya.”
‘Ndeso’ tak muncul dari julukan media, tapi malah dari Jokowi sendiri. Kata ini
seolah menjadi inti pemosisian (anti-)citra Jokowi. Dengan 'ndeso', dia
berupaya tampil merendah sekaligus meninggikan dirinya, karena itulah caranya
menjadi berbeda dengan para pesaing politik. Bahwa dibandingkan dengan Prabowo
yang memposisikan diri sebagai elite negara, tumbuh besar di lingkungan orang
cerdas dunia, dan kekuasaan, Jokowi bak Daud yang tengah melawan Goliath.
Tapi, ketika kita melihat harta kekayaan Jokowi dan
pendidikan serta pengalaman kerjanya, dia jauh dari sosok ‘ndeso’ dan
sederhana. Dia bisa berkuliah di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada,
salah satu universitas bergengsi di Indonesia. Ia pernah ke Aceh dan bekerja di
PLN sebelum kemudian memiliki CV sendiri yang membuat dan mengekspor mebel
jati.
Harta kekayaan Jokowi per 2010 saja tercatat Rp18,47 miliar
dan $9483. Tanah dan bangunannya sejumlah Rp15,7 miliar tersebar di Kabupaten
Sragen, Kota Surakarta, Kota Balikpapan, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten
Sukoharjo dan Kabupaten Boyolali. Dia juga punya 11 mobil dan 1 motor yang
bernilai Rp893 juta yaitu mobil Isuzu Panther (2), Isuzu (3), Honda City,
Mercedes Benz, Nissan Terrano, Daihatsu Espass, Suzuki dan motor Yamaha Vino E.
Dia juga punya usaha peternakan, perikanan, perkebunan, pertanian, kehutanan
dan pertambangan senilai Rp1,004 miliar. Ditambah harta bergerak lain berupa
logam mulia, batu mulia dan benda bergerak lain sejumlah Rp689,42 juta. Harta
lainnya masih ada berbentuk giro dan setara kas lain senilai Rp186,724 juta.
Dengan semua perhitungan ini, sebenarnya Jokowi adalah
bagian dari kelas menengah kaya Indonesia yang kemunculannya beberapa tahun
terakhir jadi sorotan media. Memang, hartanya tak berada di kelas yang sama
dengan Prabowo, Hatta Rajasa, Aburizal Bakrie, atau Jusuf Kalla, tapi kelas
ekonomi Jokowi sebenarnya juga berada di atas rata-rata penduduk Indonesia.
Ada narasi lain sebenarnya yang bisa dipilih Jokowi untuk
memunculkan dirinya. Namun, jika dia menampilkan dirinya sebagai bagian dari
kelas menengah atau saudagar, tentu tak akan semenonjol dengan pilihannya saat
ini, ‘ndeso’. Citra yang kemudian diperkuat dengan aksen Jawanya yang kental.
Dalam pemilihan presiden kali ini, kita melihat dua citra berbeda yang
ditawarkan oleh masing-masing kandidat dan mungkin akan jadi simbol buat
Indonesia ke depan. Antara seorang keturunan penguasa dengan didikan lingkungan
dan pergaulan serta wawasan internasional untuk membangun visi kebangsaan atau
seorang pria dengan latar belakang seperti kebanyakan orang Indonesia yang
merambat naik di jabatan pemerintahan.
Jika Anda percaya dengan salah satunya, mungkin karena Anda
merasa apa yang mereka tawarkan terasa lebih jujur, lebih asli dibanding yang
lain. Namun, seperti kata Gita Wirjawan, menjadi presiden adalah soal menjual
narasi. Baik Prabowo, maupun Jokowi, sama-sama sedang berjualan
(anti-)pencitraan. Sebagai calon pembeli, sudah sepatutnya kita mempertanyakan
lagi, apa sebenarnya yang membuat kita tertarik ke salah satu kandidat ini dan
kenapa.
Analisis tak berarti kita menghancurkan kepercayaan dan
kekaguman kita pada seorang tokoh, tapi justru membuat kita menemukan dasar dan
alasan kuat untuk percaya pada apa yang mereka tawarkan.
Ditulis oleh: Isyana Artharini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar