Oleh: Remy Sosiawan
Wijaya
Mahasiswa Jurusan Ekonomi
Sumberdaya dan Lingkungan IPB, Ketua Himpro REESA dan Aktivis Himpunan
Mahasiswa Islam
Pertamina sebagai satu-satunya BUMN
yang bergerak dalam produksi hingga distribusi minyak menjadi sorotan karena
dianggap belum transparan dan akuntabel. Isu ini semakin menguat di tengah
merosotnya produksi minyak bumi nasional, sementara konsumsi meningkat tajam.
Akibatnya, impor tidak terhindarkan.
UUD 1945 mewajibkan pemerintah
melaksanakan amanat UUD 1945 pasal 33 ayat 2 bahwa cabang-cabang
produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh Negara. Pada ayat 3 juga menyebutkan bahwa bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.. Pemerintah
tidak boleh melepaskan harga energi untuk rakyat banyak pada mekanisme pasar.
Sorotan terhadap kebocoran dalam pengelolaan kekayaan negara berupa minyak
dan gas bumi sudah terjadi bertahun-tahun. Terungkapnya kasus suap Kepala
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas Rudi Rubiandini
mengonfirmasi adanya kebocoran itu. Petral, anak perusahaan Pertamina, juga
diduga menjadi sarana mafia migas mengatur impor minyak sehingga Pertamina dan
rakyat terbebani ekonomi rente sekelompok orang.
Saat ini ada kekhawatiran terjadi penurunan produksi
minyak nasional karena sumur-sumur minyak sudah tua. Adapun biaya eksplorasi
dan eksploitasi migas justru meningkat. Dalam 10 tahun terakhir produksi minyak
nasional menurun. Cadangan migas juga menurun. Di sisi lain, biaya operasi
migas yang ditagihkan ke negara (cost
recovery) justru meningkat, terutama sejak peran regulator sektor migas
beralih dari PT Pertamina (Persero) ke SKK Migas. Penyebab tingginya cost recovery antara lain harga minyak
mentah dunia naik, harga baja naik, dan 90 persen produksi dari
lapangan-lapangan tua.
Target Pemerintah
Sektor hulu minyak dan gas bumi (migas) masih
memegang peranan penting dalam mendukung pembangunan nasional. Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 menyebutkan bahwa salah
satu prioritas yang ingin dicapai pemerintah dalam jangka menengah adalah
menguatkan ketersediaan energi primer dari produksi migas.
Selain
mencapai target tingkat elektrifikasi nasional sebesar 96 persen pada 2019,
pemerintah ingin menambah kapasitas bahan bakar minyak (BBM) sebesar 2,7 juta
kiloliter dan LPG (liquefied petroleum gas) sebesar 42 ribu ton. Pemerintah
juga ingin meningkatkan kapasitas penyimpanan minyak dari 22 hari menjadi 30
hari. Guna mendukung tercapainya target tersebut, pemerintah ingin pembangunan
kilang minyak dengan total kapasitas sebesar 300 ribu barel per hari selesai
pada 2019. Pemerintah juga berencana membangun floating storage and regasification unit (FSRU) untuk LNG (liquefied natural gas) sebanyak tujuh
unit.
Apabila
melihat prioritas yang telah ditetapkan pemerintah dalam RPJMN 2015-2019,
industri hulu migas masih memegang peranan yang sangat penting dan strategis
dalam pembangunan nasional. Lapangan Arun yang sudah tidak memproduksikan gas
kini direvitalisasi menjadi stasiun regasifikasi LNG. Gas tersebut selanjutnya
digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik yang menyediakan listrik untuk
wilayah Sumatera. Dalam waktu dekat, pemerintah akan membangun FSRU di Bali dan
mengalirkan LNG untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Bali. Pemerintah
juga akan menyelesaikan pembangunan jaringanpipa gas sepanjang 6.300 km dan
pembangunan SPBG sebanyak 118 unit.
Agar bisa
memenuhi kebutuhan dalam negeri, industri hulu migas perlu mengembangkan
kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. Kegiatan ini memerlukan dukungan
pengelolaan rantai suplai (supply chain
management) agar kegiatan eksplorasi dan produksi migas maupun
penyalurannya tidak terkendala. Dalam pelaksanaannya, pengelolaan rantai suplai
di industri hulu migas harus mengutamakan kapasitas nasional. Di sisi lain,
kemampuan kapasitas nasional juga perlu ditingkatkan guna memenuhi kebutuhan
barang dan jasa di sektor hulu migas.
Butuh Transparansi
Pertamina selalu menyebutkan harga
keekonomian BBM, tetapi bagaimana pembentukan harga keekonomian tersebut belum
transparan. Sebelumnya pemerintah membentuk Komite Reformasi Tata Kelola Migas.
Masyarakat berharap komite dapat ikut mendorong transparansi tata kelola
Pertamina dan memastikan akuntabilitasnya.
Tantangan lain bagi Pertamina adalah
merosotnya harga minyak dunia. Bukan hanya dari sisi ekspor dan impor,
melainkan juga eksplorasi ladang baru dan peningkatan produksi dalam negeri.
Jangan sampai turunnya harga minyak bumi mengendurkan upaya menaikkan produksi
minyak nasional dan melahirkan sikap pragmatis dengan mengimpor karena harga
sedang turun.
Potensi korupsi dalam
industri hulu migas ada pada setiap tahapan. Mulai dari pelelangan wilayah kerja,
penyusunan kontrak, persetujuan rencana pengembangan lapangan (plan of
development/POD), program kerja dan anggaran (work program and budget/WP&B),
dan autorisasi pengeluaran (authorization for expenditures/AFE),
pelelangan, pengadaan, perizinan, pengawasan eksplorasi, pengembangan dan
produksi, lifting, pengendalian aset, pengendalian alokasi dan
distribusi hasil produksi, pengendalian cost recovery, pengendalian
internal kontraktor KKS, dan lain-lain.
Sedangkan potensi
pelakunya juga tersebar mulai dari eksekutif seperti di Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral (ESDM), kementerian terkait, pemerintah daerah, dan SKK
Migas; legislatif, yaitu anggota DPR; penegak hukum, yaitu KPK, kejaksaan, dan
kepolisian; lembaga negara lain seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP); serta lembaga nonpemerintah
seperti partai politik, kontraktor KKS, trader, asosiasi pelaku bisnis, dan
lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Kegiatan hulu migas
tidak bisa dilihat sepotong-sepotong karena merupakan satu kesatuan sepanjang
periode kontrak berlaku. Misalnya saja, setelah puncak produksi pada sebuah
lapangan terlampaui, produksi akan menurun sementara biaya justru naik karena
biaya perawatan meningkat.
Tim Reformasi Tata
Kelola Migas dibentuk untuk menutup ruang gerak mafia migas dengan mendorong
transparansi tata kelola migas melalui revisi peraturan perundang-undanganan
maupun menata ulang kelembagaan pengelolaan migas.
Untuk menutup celah
bagi mafia migas adalah dengan menjamin pemenuhan hak informasi, partisipasi,
dan akses masyarakat atas industri di sepanjang rantai proses industri
ekstraktif meliputi keterbukaan kontrak KKKS, penghitungan DBH, data lifting
secara real time, data produksi minyak dan gas bumi, penjualan dan penerimaan
minyak dan gas bumi milik negara, dokumen AMDAL, dll. Hal tersebut harus muncul
secara eksplisit dalam pasal-pasal Revisi UU Migas maupun peraturan turunannya.
Saat ini Indonesia
telah berkomitmen untuk melaksanakan 2 (dua) inisiatif global yang mendorong
transparansi dan akuntabilitas sektor ekstraktif, yaitu Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) dan Open Government Partnership (OGP). Tugas
kita adalah memastikan bahwa pemerintah benar-benar berkomitmen untuk
menjalankan inisiatif tersebut termasuk melibatkan pemerintah daerah di
dalamnya.
Sehingga perlu dicermati bahwa
pengelolaan migas nasional negeri ini segera dilakukan secara transparan dengan
membuka informasi seleabar-lebarnya ke publik. Dua inisiatif global yang telah
dicetus dan diikuti oleh Indonesia juga merupakan acuan dan motivasi guna
memperbaiki tata kelola migas nasional. Bukan sebagai ajang pencitraan
pemerintah saja namun perlu dilakukan implementasi.
Terakhir, Indonesia tidak boleh membuat kesalahan
sama dengan berpikir secara ekonomi dagang dalam mengelola negara. Energi dan
pangan sama-sama barang langka dan menguasai hajat hidup orang banyak.
Ketahanan dalam negeri sangat penting yang sangat dapat diupayakan melalui
teknologi dan inovasi dari hulu hingga hilir. Tidak ada alasan Indonesia tidak
dapat memiliki ketahanan energi.