Rabu, 10 Juni 2015

Pangan vs Sawit



Oleh: Remy Sosiawan Wijaya
Mahasiswa Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan IPB, Ketua Umum Himpro REESA dan Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam

Bondan Andriyanu, Kepala Departemen Kampanye Sawit Watch dalam rilisnya mengatakan bahwa rata-rata setiap tahunnya 500 ribu ha lahir kebun sawit baru di Indonesia, dari konversi lahan pangan. ‎ Menurut riset Sawit Watch pada 2012 perubahan penggunaan tanah hutan menjadi perkebunan sawit seluas 276.248 Ha. Data Sawit Watch, petani Indonesia dalam kurun 2003-2013 menghilang 5,07 juta rumah tangga, artinya dalam setiap menit 1 keluarga petani menghilang di Indonesia.
Sungguh ironis ketika kita melihat kondisi pertanian kita saat ini. Luasan lahan sawit terus bertambah sedangkan industri olahannya tak berkembang. Lalu Indonesia mengimpor pangan dan berbagai jenis olahan berbasis sawit untuk konsumsi sehari-hari. Padahal Indonesia adalah negeri agraris yang kaya akan ragam pangan lokal tapi negara lebih fokus mengembangkan pada sawit dan secara monokultur.
Luasan perkebunan sawit di Indonesia adalah 13.5 juta ha, dimana 2,9 juta ha ada di Riau (Sawit Watch, 2013). Luas ini akan terus bertambah sesuai dengan rencana pemerintah untuk memperluas hingga 28 juta pada tahun 2020. Ini adalah akibat dari permintaan pasar dunia yang semakin tinggi akan konsumsi minyak sawit (CPO) untuk digunakan dalam berbagai produk turunannya.
Setidaknya ada 4 permasalahan dalam pembangunan pertanian bangsa ini. Pertama, rendahnya kualitas SDM petani kita. Kedua, skala usaha yang kecil sehingga petani berada di level subsisten (miskin). Ketiga, kurang memadainya kuantitas dan kualitas infrastruktur dalam mendorong percepatan pembangunan. Dan keempat, sulitnya akses pembiayaan khususnya perbankan dan akses ke pasar output.
Kondisi-kondisi tersebut sangat mengkhawatirkan mengingat Indonesia dalam visi-misi Jokowi-JK ingin mencapai kedaulatan pangan. Bila terjadi konversi lahan pertanian ke lahan sawit terus menerus maka akan sulit tercapai visi kedaulatan pangan tersebut.
Memulai kembali pembangunan pertanian adalah satu hal yang wajib dilakukan oleh pemerintahan Jokowi di tahun 2015 ini. Empat permasalahan pertanian di atas haruslah segera diatasi. Apalagi soal konversi lahan yang membuat skala usaha petani semakin kecil. Janji land reform yang diutarakan Jokowi dalam  nawa cita nya harus jalan sebagai langkah konkretnya dalam mencapai kedaulatan pangan.
Mengembalikan lahan sawit ke lahan pertanian sangat sulit dilakukan. Salah satu caranya adalah dengan menghentikan laju pembukaan lahan sawit. Bila ini terus terjadi akan semakin sempit lahan yang dimiliki petani kecil. Luas lahan dan skala usaha petani yang kecil menjadi salah satu sebab kemiskinan seperti yang sudah disebutkan di atas.
Untuk menghindari tergerusnya lahan pangan akibat ekspansi perkebunan sawit maka salah satu cara dengan melindungi lahan-lahan pangan tersebut dengan menjadikannya lahan pertanian pangan berkelanjutan. Didalam UU No. 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan, pemerintah dapat memberikan perlindungan lahan tersebut yang diiringi dengan pemberian insentif sehingga lahan pangan tersebut tidak terkonversi menjadi perkebunan sawit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar