Oleh: Remy Sosiawan Wijaya
Mahasiswa Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan IPB, Ketua Umum Himpro
REESA dan Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam
Bondan Andriyanu, Kepala Departemen Kampanye
Sawit Watch dalam rilisnya mengatakan bahwa rata-rata setiap tahunnya 500 ribu
ha lahir kebun sawit baru di Indonesia, dari konversi lahan pangan.
Menurut riset Sawit Watch pada 2012 perubahan penggunaan tanah hutan
menjadi perkebunan sawit seluas 276.248 Ha. Data Sawit Watch, petani Indonesia
dalam kurun 2003-2013 menghilang 5,07 juta rumah tangga, artinya dalam setiap
menit 1 keluarga petani menghilang di Indonesia.
Sungguh ironis ketika kita melihat kondisi
pertanian kita saat ini. Luasan lahan sawit terus bertambah sedangkan industri
olahannya tak berkembang. Lalu Indonesia mengimpor pangan dan berbagai jenis
olahan berbasis sawit untuk konsumsi sehari-hari. Padahal Indonesia adalah
negeri agraris yang kaya akan ragam pangan lokal tapi negara lebih fokus
mengembangkan pada sawit dan secara monokultur.
Luasan perkebunan sawit di Indonesia adalah
13.5 juta ha, dimana 2,9 juta ha ada di Riau (Sawit Watch, 2013). Luas ini akan
terus bertambah sesuai dengan rencana pemerintah untuk memperluas hingga 28
juta pada tahun 2020. Ini adalah akibat dari permintaan pasar dunia yang
semakin tinggi akan konsumsi minyak sawit (CPO) untuk digunakan dalam berbagai
produk turunannya.
Setidaknya ada 4 permasalahan dalam pembangunan
pertanian bangsa ini. Pertama,
rendahnya kualitas SDM petani kita. Kedua,
skala usaha yang kecil sehingga petani berada di level subsisten (miskin). Ketiga, kurang memadainya kuantitas dan
kualitas infrastruktur dalam mendorong percepatan pembangunan. Dan keempat, sulitnya akses pembiayaan
khususnya perbankan dan akses ke pasar output.
Kondisi-kondisi tersebut sangat mengkhawatirkan
mengingat Indonesia dalam visi-misi Jokowi-JK ingin mencapai kedaulatan pangan.
Bila terjadi konversi lahan pertanian ke lahan sawit terus menerus maka akan
sulit tercapai visi kedaulatan pangan tersebut.
Memulai kembali pembangunan pertanian adalah
satu hal yang wajib dilakukan oleh pemerintahan Jokowi di tahun 2015 ini. Empat
permasalahan pertanian di atas haruslah segera diatasi. Apalagi soal konversi
lahan yang membuat skala usaha petani semakin kecil. Janji land reform yang
diutarakan Jokowi dalam nawa cita nya harus jalan sebagai langkah
konkretnya dalam mencapai kedaulatan pangan.
Mengembalikan lahan sawit ke lahan pertanian
sangat sulit dilakukan. Salah satu caranya adalah dengan menghentikan laju
pembukaan lahan sawit. Bila ini terus terjadi akan semakin sempit lahan yang
dimiliki petani kecil. Luas lahan dan skala usaha petani yang kecil menjadi salah satu sebab kemiskinan seperti yang
sudah disebutkan di atas.
Untuk menghindari tergerusnya lahan pangan
akibat ekspansi perkebunan sawit maka salah satu cara dengan melindungi
lahan-lahan pangan tersebut dengan menjadikannya lahan pertanian pangan
berkelanjutan. Didalam UU No. 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Berkelanjutan, pemerintah dapat memberikan perlindungan lahan
tersebut yang diiringi dengan pemberian insentif sehingga lahan pangan tersebut
tidak terkonversi menjadi perkebunan sawit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar