Rabu, 10 Juni 2015

Menerawang Nasib BBM di Tahun 2015



Oleh: Remy Sosiawan Wijaya
Mahasiswa Jurusan Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan IPB, Ketua Umum Himpro REESA dan Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam

Baru saja naik, lalu tak lama kemudian turun. Itulah kondisi terkini yang disematkan untuk Bahan Bakar Minyak (BBM) dimana pada tanggal 18 November 2014 lalu rakyat dikejutkan dengan pengurangan subsidi baik solar maupun premium. Tetapi, tidak lama kemudian per tanggal 1 Januari 2015 harga BBM kembali turun.
Harga premium turun menjadi Rp7.600 per liter dan solar Rp7.250 per liter. Sebelumnya, harga premium Rp8.500 dan solar Rp7.500 per liter. Harga kedua jenis BBM tersebut baru 18 November 2014 dinaikkan dari sebelumnya premium Rp6.500 dan solar Rp5.500 per liter.
Saat ini dengan harga Rp 7600 per liter untuk premium pemerintah mengaku sudah tidak ada lagi subsidi untuk jenis bahan bakar tersebut. Bila menggunakan harga keekonomian dunia, seharusnya harga premium bisa pada level Rp 6000 per liter. Artinya penurunan yang terjadi hanya sebesar Rp 900 per liter. Padahal bisa hingga Rp 2500 per liter.
Penurunan harga BBM ini menuai banyak kritikan. Hal ini dikarenakan Pemerintah dinilai tidak cermat dalam menentukan harga keekonomian BBM. Sebab, saat harga minyak dunia turun pada November 2014 lalu, harga BBM malah dinaikkan. Kebijakan menurunkan harga BBM membuat pemerintah seolah- olah mengakui telah melakukan kekeliruan. 
Pemerintah saat ini menggunakan sistem subsidi tetap atau harga mengambang. Istilah harga mengambang yaitu harga jual BBM non-pertamax nantinya akan mendapatkan subsidi tetap dengan angka tertentu, dan harganya akan fluktuatif mengikuti harga minyak dunia. Harga minyak dunia saat ini jatuh dan berada pada level USD 54,12 per barel. Angka tersebut jauh dari asumsi atau anggaran di APBN 2015 yaitu sebesar USD 105 per barel.
Dengan menggunakan sistem subsidi tetap, harga akan bersifat fluktuatif. Setiap bulan harga minyak dunia bisa naik turun. Dampaknya yaitu akan terjadi perubahan harga yang cukup cepat terjadi pada BBM domestik. Fluktuasi harga tersebut memiliki setidaknya dua dampak negatif.
Pertama, konsumen baik rumah tangga, perusahaan dan para pedagang tidak dapat memprediksi dengan tepat berapa besaran biaya produksi atau pemasaran mereka. Yang terjadi bisa saja harga di tingkat ritel tidak stabil.
Kedua, ketika harga minyak dunia naik secara drastis maka yang terjadi adalah harga BBM akan melejit jauh dan bisa saja lebih tinggi dari pertamax. Tentu akan sangat mengkhawatirkan apalagi bagi para pengusaha, nelayan dan pedagang kecil yang sangat bergantung dengan tranportasi.
            Tahun 2015 sudah tiba, begitupun MEA 2015. Persaingan di tingkat perusahaan menekankan bagaimana perusahaan dapat memproduksi barang-barang berkualitas seefisien mungkin. Pemerintah Jokowi-JK beserta menterinya perlu memikirkan bagaimana meningkatkan daya saing perusahaan dalam negeri dengan menciptakan biaya-biaya input yang murah mengingat BBM sebagai input strategis yang sangat elastis terhadap harga output.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar