Rabu, 10 Juni 2015

Menuju Pengelolaan Migas Nasional yang Transparan




Oleh: Remy Sosiawan Wijaya
Mahasiswa Jurusan Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan IPB, Ketua Himpro REESA dan Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam

Pertamina sebagai satu-satunya BUMN yang bergerak dalam produksi hingga distribusi minyak menjadi sorotan karena dianggap belum transparan dan akuntabel. Isu ini semakin menguat di tengah merosotnya produksi minyak bumi nasional, sementara konsumsi meningkat tajam. Akibatnya, impor tidak terhindarkan.
UUD 1945 mewajibkan pemerintah melaksanakan amanat UUD 1945 pasal 33 ayat 2 bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Pada ayat 3 juga menyebutkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.. Pemerintah tidak boleh melepaskan harga energi untuk rakyat banyak pada mekanisme pasar.
Sorotan terhadap kebocoran dalam pengelolaan kekayaan negara berupa minyak dan gas bumi sudah terjadi bertahun-tahun. Terungkapnya kasus suap Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas Rudi Rubiandini mengonfirmasi adanya kebocoran itu. Petral, anak perusahaan Pertamina, juga diduga menjadi sarana mafia migas mengatur impor minyak sehingga Pertamina dan rakyat terbebani ekonomi rente sekelompok orang.
Saat ini ada kekhawatiran terjadi penurunan produksi minyak nasional karena sumur-sumur minyak sudah tua. Adapun biaya eksplorasi dan eksploitasi migas justru meningkat. Dalam 10 tahun terakhir produksi minyak nasional menurun. Cadangan migas juga menurun. Di sisi lain, biaya operasi migas yang ditagihkan ke negara (cost recovery) justru meningkat, terutama sejak peran regulator sektor migas beralih dari PT Pertamina (Persero) ke SKK Migas. Penyebab tingginya cost recovery antara lain harga minyak mentah dunia naik, harga baja naik, dan 90 persen produksi dari lapangan-lapangan tua.

Target Pemerintah
Sektor hulu minyak dan gas bumi (migas) masih memegang peranan penting dalam mendukung pembangunan nasional. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 menyebutkan bahwa salah satu prioritas yang ingin dicapai pemerintah dalam jangka menengah adalah menguatkan ketersediaan energi primer dari produksi migas.
Selain mencapai target tingkat elektrifikasi nasional sebesar 96 persen pada 2019, pemerintah ingin menambah kapasitas bahan bakar minyak (BBM) sebesar 2,7 juta kiloliter dan LPG (liquefied petroleum gas) sebesar 42 ribu ton. Pemerintah juga ingin meningkatkan kapasitas penyimpanan minyak dari 22 hari menjadi 30 hari. Guna mendukung tercapainya target tersebut, pemerintah ingin pembangunan kilang minyak dengan total kapasitas sebesar 300 ribu barel per hari selesai pada 2019. Pemerintah juga berencana membangun floating storage and regasification unit (FSRU) untuk LNG (liquefied natural gas) sebanyak tujuh unit.
Apabila melihat prioritas yang telah ditetapkan pemerintah dalam RPJMN 2015-2019, industri hulu migas masih memegang peranan yang sangat penting dan strategis dalam pembangunan nasional. Lapangan Arun yang sudah tidak memproduksikan gas kini direvitalisasi menjadi stasiun regasifikasi LNG. Gas tersebut selanjutnya digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik yang menyediakan listrik untuk wilayah Sumatera. Dalam waktu dekat, pemerintah akan membangun FSRU di Bali dan mengalirkan LNG untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Bali. Pemerintah juga akan menyelesaikan pembangunan jaringanpipa gas sepanjang 6.300 km dan pembangunan SPBG sebanyak 118 unit.
Agar bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri, industri hulu migas perlu mengembangkan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. Kegiatan ini memerlukan dukungan pengelolaan rantai suplai (supply chain management) agar kegiatan eksplorasi dan produksi migas maupun penyalurannya tidak terkendala. Dalam pelaksanaannya, pengelolaan rantai suplai di industri hulu migas harus mengutamakan kapasitas nasional. Di sisi lain, kemampuan kapasitas nasional juga perlu ditingkatkan guna memenuhi kebutuhan barang dan jasa di sektor hulu migas.

Butuh Transparansi
Pertamina selalu menyebutkan harga keekonomian BBM, tetapi bagaimana pembentukan harga keekonomian tersebut belum transparan. Sebelumnya pemerintah membentuk Komite Reformasi Tata Kelola Migas. Masyarakat berharap komite dapat ikut mendorong transparansi tata kelola Pertamina dan memastikan akuntabilitasnya.
Tantangan lain bagi Pertamina adalah merosotnya harga minyak dunia. Bukan hanya dari sisi ekspor dan impor, melainkan juga eksplorasi ladang baru dan peningkatan produksi dalam negeri. Jangan sampai turunnya harga minyak bumi mengendurkan upaya menaikkan produksi minyak nasional dan melahirkan sikap pragmatis dengan mengimpor karena harga sedang turun.
Potensi korupsi dalam industri hulu migas ada pada setiap tahapan. Mulai dari pelelangan wilayah kerja, penyusunan kontrak, persetujuan rencana pengembangan lapangan (plan of development/POD), program kerja dan anggaran (work program and budget/WP&B), dan autorisasi pengeluaran (authorization for expenditures/AFE), pelelangan, pengadaan, perizinan, pengawasan eksplorasi, pengembangan dan produksi, lifting, pengendalian aset, pengendalian alokasi dan distribusi hasil produksi, pengendalian cost recovery, pengendalian internal kontraktor KKS, dan lain-lain.
Sedangkan potensi pelakunya juga tersebar mulai dari eksekutif seperti di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), kementerian terkait, pemerintah daerah, dan SKK Migas; legislatif, yaitu anggota DPR; penegak hukum, yaitu KPK, kejaksaan, dan kepolisian; lembaga negara lain seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP); serta lembaga nonpemerintah seperti partai politik, kontraktor KKS, trader, asosiasi pelaku bisnis, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Kegiatan hulu migas tidak bisa dilihat sepotong-sepotong karena merupakan satu kesatuan sepanjang periode kontrak berlaku. Misalnya saja, setelah puncak produksi pada sebuah lapangan terlampaui, produksi akan menurun sementara biaya justru naik karena biaya perawatan meningkat.
Tim Reformasi Tata Kelola Migas dibentuk untuk menutup ruang gerak mafia migas dengan mendorong transparansi tata kelola migas melalui revisi peraturan perundang-undanganan maupun menata ulang kelembagaan pengelolaan migas.
Untuk menutup celah bagi mafia migas adalah dengan menjamin pemenuhan hak informasi, partisipasi, dan akses masyarakat atas industri di sepanjang rantai proses industri ekstraktif meliputi keterbukaan kontrak KKKS, penghitungan DBH, data lifting secara real time, data produksi minyak dan gas bumi, penjualan dan penerimaan minyak dan gas bumi milik negara, dokumen AMDAL, dll. Hal tersebut harus muncul secara eksplisit dalam pasal-pasal Revisi UU Migas maupun peraturan turunannya.
Saat ini Indonesia telah berkomitmen untuk melaksanakan 2 (dua) inisiatif global yang mendorong transparansi dan akuntabilitas sektor ekstraktif, yaitu Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) dan Open Government Partnership (OGP). Tugas kita adalah memastikan bahwa pemerintah benar-benar berkomitmen untuk menjalankan inisiatif tersebut termasuk melibatkan pemerintah daerah di dalamnya.
Sehingga perlu dicermati bahwa pengelolaan migas nasional negeri ini segera dilakukan secara transparan dengan membuka informasi seleabar-lebarnya ke publik. Dua inisiatif global yang telah dicetus dan diikuti oleh Indonesia juga merupakan acuan dan motivasi guna memperbaiki tata kelola migas nasional. Bukan sebagai ajang pencitraan pemerintah saja namun perlu dilakukan implementasi.
           Terakhir, Indonesia tidak boleh membuat kesalahan sama dengan berpikir secara ekonomi dagang dalam mengelola negara. Energi dan pangan sama-sama barang langka dan menguasai hajat hidup orang banyak. Ketahanan dalam negeri sangat penting yang sangat dapat diupayakan melalui teknologi dan inovasi dari hulu hingga hilir. Tidak ada alasan Indonesia tidak dapat memiliki ketahanan energi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar